ARGOPURO FESTIVAL:
SAJIAN SENI BUDAYA DARI LERENG GUNUNG ISTANA DEWI RENGGANIS
Japung Nusantara.org. Udara dingin menyergap siapapun yang datang di Desa Baderan, Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo. Desa yang terletak di ketinggian 787 meter di atas permukaan laut ini menjadi gerbang pintu masuk menuju jalur pendakian ke gunung Argopuro. Di desa Baderan inilah selama dua hari pada tanggal 8 dan 9 April 2016 yang lalu, komunitas RCB (Reng Cinta Besokeh), sebuah komunitas anak muda kreatif pencinta seni budaya dari Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, menyelenggarakan sebuah perhelatan kesenian bertajuk Argopuro Festival yang pertama.
Jangan dibayangkan di festival ini kita akan menemukan panggung rigging megah dengan sound system menggelegar dan lighting panggung berdaya ribuan watt. Pada Argopuro Festival justru kita akan menjumpai panggung natural yang sederhana tanpa stage, dengan alas jerami kering, beberapa buah meja kayu setinggi 30 cm, satu set drum bertengger di atas tumpukan jerami, ranting pohon dan beberapa sangkar burung digantung, batang-batang bambu ditancapkan sebagai pagar, dengan background panggung berupa lereng-lereng curam bukit yang hijau, dan tampak beberapa ratus meter di kaki bukit terdapat sungai Bales yang mengalir meliuk-liuk menuju arah kota Besuki. Selain itu terlihat perangkat sound system sederhana, beberapa buah alat musik, dan sejumlah lampu digantung di tiang-tiang bambu, membuat panggung ini tampak sangat menyatu dengan alam.
Namun di balik kesederhanaan ini, bukan berarti penampilan kesenian yang disajikan di panggung ini adalah performance yang asal-asalan. Di panggung ini justru digelar beragam performance kesenian berkelas. Puluhan seniman dan musisi dari lokal Besuki dan Situbondo, dari luar kota, bahkan dari luar negeri, bergantian menyajikan suguhan unik untuk menghangatkan ruang apresiasi kesenian di desa yang terletak sekitar 22 km dari alun-alun pusat kota kecamatan Besuki, Situbondo.
Pagelaran seni budaya ini dimulai pada sore hari dengan diawali sambutan oleh Rega Rahman, sang ketua pelaksana kegiatan, dan seremoni pembukaan event oleh Ibu Kepala Desa Baderan, yang langsung dilanjut penampilan solo gitar klasik oleh Dwi Cahyo dari Sanggar Sambalado. Penampilan berikutnya adalah kolaborasi musik antara Gilles Saissi (Perancis), Junichi Usui (Jepang), Redy Eko Prastyo (Malang), dan Agus Wayan (Malang), yang menjadi sebuah ruang eksplorasi bunyi-bunyian perkawinan nada-nada musik etnik dalam bingkai kontemporer.
Festival penuh warna
Event ini memang berwarna-warni. Pelaksanaannya didukung oleh berbagai komunitas lintas wilayah, seperti komunitas Kampung Langai, Sanggar Musik Sambalado, Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS), Granica Situbondo, Himapala Unars situbondo, Lebus jember, Situbondo Kreatif, Gudang Production Jember, Arpal Sumbermalang, Backpacker Situbondo, Siponsel, Free Line, Seniberjalan, Situbondo Etno, Jaringan Kampung Nusantara, dan pendokumentasian video oleh komunitas Hidora (Hiduplah Indonesia Raya) TiVi. Kegiatan yang dilakukan beragam, mulai pentas kesenian, pasar kuliner, tanam pohon, flying fox, dan jagongan budaya. Jenis pentas yang ditampilkan pun bervariasi, mulai musik klasik, musik etnik, musik pop, musik reggae, musik jazz, musik kontemporer, sampai tari kontemporer. Pengisi acara hadir dari beragam komunitas yang berasal dari berbagai kota dan negara.
Setelah break Maghrib, acara kembali dilanjutkan. Malam itu lereng gunung Argopuro digoyang oleh performance grup Sunshine Reggae dan band Dream Water dari kota Situbondo dan Besuki. Malam kian dingin, namun tak menyurutkan hadirnya para penonton warga desa Baderan maupun dari beragam komunitas berbagai daerah yang sebagian di antaranya membuka tenda-tenda dome di pinggir jalan untuk menginap, tak jauh dari lokasi panggung pertunjukan. Beragam jajanan ndeso dan makanan berat pun hadir dijual oleh warga desa bersanding dengan aneka minuman hangat.
Harmonisasi alam dan seni budaya
Gunung Argopuro, lokasi kegiatan festival ini, memang mempunyai banyak hal menarik. Nama Argopuro bisa berasal dari bahasa Sansekerta, ‘arga’ berarti ‘gunung’ dan ‘pura’ berarti ‘kota’ atau ‘istana’. Atau kata nama ‘Argopuro’ bisa berasal dari bahasa Madura, ‘arged’ dan ‘puro’, yang berarti ‘tempat atau istana yang tinggi’. Area pegunungan yang dulu dikenal dengan nama pegunungan Iyang atau Hyang ini memiiki banyak kisah sejarah, legenda, dan mitos, yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara kajian akademis. Pegunungan ini memiliki tiga puncak utama, yaitu puncak Argopuro (3.088 m), puncak Rengganis (2.980 m), dan puncak Arca atau disebut juga puncak Hyang.
Di puncak Argopuro terdapat reruntuhan bangunan batu yang diperkirakan sebagai reruntuhan pura atau istana Dewi Rengganis, dan kemungkinan besar merupakan satu-satunya peninggalan Hindu di nusantara yang dibangun pada ketinggian di atas 3000 meter. Sedangkan pada puncak Rengganis terdapat puing-puing semacam kuil dan tumpukan batuan mirip makam kuno, yang dipercaya sebagai makam Dewi Rengganis dan pengawal setianya. Sedangkan Puncak Arca berasal dari adanya dua buah arca dengan bagian kepala yang rusak, dan terdapat banyak batu besar menyembul keluar dari tanah dengan aneka bentuk, sebagian tersusun rapi, menyerupai sarkofagus, punden berundak, bahkan altar.
Cerita Dewi Rengganis sendiri merupakan legenda dengan beberapa versi, mengenai putri seorang raja Majapahit dari salah seorang selir yang melarikan diri bersama dayang-dayangnya bersembunyi di Gunung Argopuro, sementara versi yang lain menyatakan Dewi Rengganis adalah selir dari raja Majapahit, dan masih terdapat lagi beberapa versi cerita yang lain.
Keberadaan berbagai reruntuhan terkait dengan cerita Dewi Rengganis ini dicatat oleh Franz Wilhem Junghuhn, seorang peneliti pulau Jawa dan Sumatera di bidang botani, kartografi, dan geologi, saat pertama kalinya ia menjejejakkan kaki di gunung ini pada tahun 1844. Junghuhn juga mencatat keberadaan ribuan ekor rusa di gunung ini, juga banyaknya tanaman Primula polifera yang tumbuh indah di antara rerumputan, jajaran cemara (Casuarina junghuhniana), dan cantiknya taman edelweis (Anaphalis viscida), di dataran tinggi seluas 15.000 hektar ini.
Keindahan alam Argopuro ini terasa sangat harmonis dengan alunan nada dan gerak yang ditampilkan oleh para pengisi acara Argopuro Festival. Pada hari kedua festival yang direncanakan akan diselenggarakan tiap tahun ini, acara siang sampai sore hari diisi oleh pementasan tari kontemporer komunitas Malang Dance, dengan tarian berjudul “mBan Edreg” dan tari “Impian”, karya Winarto Ekram, berikutnya tampil Ali Gardy featuring Panaka Jaya dan Guiral (jazz dan etnik kontemporer), dan diakhiri dengan performance unik kolaborasi musik etnik kontemporer antara Redy Eko Prastyo (sapek dan jimbe), Gilles Saissi (bass dan instrumen dawai), Ali Gardy (flute), Junichi Usui (biola dan sho), dan Panaka Jaya (piano elektrik).
Usai break akibat diguyur hujan lebat, di malam harinya panggung alam Desa Baderan kembali bergelora oleh penampilan berbagai grup musik yaitu Mahadiu (etnik fusion), Jimmy Piano klasik, Lambah Young (reggae), Atlas (ambiant sound), Budi (solo gitar), Kampung Langai Family, Sanggar Sambalado (bass project), Mistix band (pop), Gudang band (rock), Remember Me (jazz), dan diakhiri dengan performance kolaborasi Jaringan Kampung Nusantara yang menampilkan Junichi Usui dari Jepang (biola), Agus Wayan dari Malang (kecapi dan bass), Didy dari Banyuwangi (gitar), Bachtiar dari Banyuwangi (harmonika), Jaya dari Situbondo (piano), Ulfah dari Malang (rebana), Ali Gardy dari Besuki (sapek), Mbah Yon dari Banyuwangi (seruling paralon), dan Ahmed dari Cairo Mesir (tari kontemporer).
Semakin lokal semakin internasional
Sebuah perhelatan seni budaya yang sangat apresiatif berlokasi di alam bebas, dengan nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan, ini menjadi sebuah pintu pembuka untuk mengembangkan potensi pariwisata yang ada di area Argopuro dan sekitarnya. Selain puncak-puncak gunung yang banyak menyimpan cerita misteri, masih terdapat beberapa potensi unik di area Argopuro, salah satunya yaitu Cikasur, bekas sebuah lapangan terbang, yang berjarak sekitar 15 km dari desa Baderan.
Tahun 1907, A.J.M Ledeboer, seorang administrator perkebunan kopi ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda melakukan pengembangan di area Cikasur untuk penangkaran rusa (Cervus Timorensis). Lokasi ini kemudian ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai kawasan cagar alam pada tahun 1919. Pada tahun 1940, Ledeboer membangun lapangan terbang di lokasi dengan ketinggian 2.215 meter itu, dengan lebar 100 meter dan panjang landasan 900 meter. Selain itu ia berencana mendirikan pusat rehabilitasi kesehatan berupa sanatorium (rumah sakit paru-paru) di tempat yang berudara sangat segar ini.
Sayang impian Ledeboer tak sepenuhnya berhasil tercapai. Tahun 1943 Jepang datang, Ledeboer ditangkap. Segala bangunan, rumah, fasilitas, dan lapangan terbang yang didirikannya di Cikasur dirusak oleh Jepang. Jepang membuat gundukan-gundukan di atas lapangan terbang agar pesawat tak lagi bisa mendarat. Penangkaran rusa pun tak terurus, rusa kembali diburu, dan populasinya semakin menurun.
Hari ini kita masih bisa menyaksikan sisa-sisa jalur lapangan terbang dan beberapa reruntuhan bangunan yang dibuat Ledeboer di padang rumput luas Cikasur. Tak jarang berbagai satwa liar berlintasan di sana, seperti burung merak, rusa, babi hutan, bahkan bila beruntung kita bisa melihat macan kumbang ataupun macan tutul. Cikasur menjadi sebuah potensi wisata alam dan wisata sejarah, dan untuk menuju ke sana bisa ditempuh wisatawan dengan treeking berjalan kaki ataupun menggunakan ojek.
Bukannya tak mungkin, bahwa dengan dilakukan langkah-langkah pengorganisasian yang baik, berbagai potensi wisata yang ada di area Argopuro ini bisa dikembangkan dengan pengelolaan oleh masyarakat desa Baderan, yang dikawinkan dengan potensi seni budaya, dan ditunjang dengan beragam keunikan aktifitas sehari-hari masyarakat desa, seperti bertani, beternak, berladang, dan lain-lain.
Perlu kita ketahui, sebuah trend pariwisata yang saat ini sedang berkembang pesat adalah cabang dari ekowisata yang bertema “Live as Local People Tourism”, yaitu aktifitas pariwisata hidup seperti masyarakat lokal. Dengan era sosial media yang makin berkembang, keinginan wisatawan dari berbagai penjuru dunia adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan pengalaman-pengalaman unik tinggal dan beraktifitas bersama masyarakat lokal dengan keorisinalitasannya, apa adanya, tanpa dibuat-buat. Ini menjadi sebuah peluang besar bagi kampung-kampung di nusantara dengan potensi-potensi alam dan aktifitas keseharian warganya yang unik, untuk bisa berkembang go internasional menjadi sebuah desa wisata ataupun kampung wisata.
Semakin lokal, semakin berpotensi go internasional, tanpa perlu banyak modal.
Tidak perlu mengada-ngada, cukup apa adanya, menjaga yang sudah ada, dan menggali kembali yang hampir terlupa, dan selalu rajin mengabarkan berita serta berbagi cerita kepada siapa saja, melalui media apa saja, sambil terus meningkatkan kebersamaan di antara warga. Itu saja syaratnya.
Salam Nusantara..
Penulis:
Bachtiar Djanan M
- Komunitas Hidora (Hiduplah Indonesia Raya)
- Kawitan (Kampong Wisata Temenggungan), Banyuwangi