Tanah Bagelen berlokasi di bagian selatan Jawa Tengah. Menurut tata negara Mataram era Sultan Agung, Tanah Bagelen terdiri atas dua bagian dalam satu kesatuan, yaitu : (a) wilayah Bagelen di sebelah barat Kali Progo hingga di timur Sungai Bogowonto, yang konon dinamai “Tumbak Anyar”, (2) willayah barat Kali Bogowonto hingga di timur Sungai Donan (Cilacap ), yang disebut “Urut Sewu” . Total wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang disebut “Tanah Bagelen” (Sutjipto, 1963 ). Apabila keberadaan daerah Bagelen (tulisan Jawa: ꦧꦒꦼꦭꦺꦤ꧀) dilihat menurut tata administrasi pemerintahan sekarang, Bagelen hanya merupakan salah sebuah diantara 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Wilayah Kecamatan Bagelen berbatasan langsung dengan Provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) . Pusat kecamatannya berada di Desa Bagelen, yang berjarak sekitar 12 Km dari pusat Kabupaten Purworejo. Wilayah Kecamatan Bagelen terbilang sempit, luasnya hanya 64 km². Kecamatan Bagelen, dan lebih luas lagi Kabupaten Purworejo, berada di wilayah “Kedu Selata”. Pada penerinthan Hindia-Belanda, Kedu (penulisan lain “Kedoe” atau “Kedoo”) berstatus “Karesidenan”, yang mencakup beberapa regent (kaboepaten), yaitu (1) Magelang, (2) Temanggung, (3) Wonosobo, (4) Kebumen, (5) Purworejo (sebutan yang lebih awal “Bagelen”), dengan pusat Karesidenan di Magelang
Hal ini berlainan dengan keberadaannya pada masa lampau. Sebelum berdirinya Kabupaten Purworejo, Bagelen adalah pusat pemerintahan dalam wilayah yang kemudian (pada masa Hindia- Helanda) diberi nama “Purworejo”. Sebutan yang lebih arkais (tua) dari “Bagelen” adalah “Pagelen”, yang sering diberi penjelasan sebagai perubahan penyebutan dari toponimi “Medanggele” — asalnya adalah dari kata “Medang Kamulan (ka-mula-an)”. Unsur sebutan “Medang (Mdang)” itu, pads Masa Hindu- Buddha, tepatnya era Kerajaan Mataram, dijadikan sebutan bagi “bhumi Mataram”, yang di dalam sumber data epigrafis (prasasti) era pemerintahan raja Balitung dan sesudahnya acapkali terdapat penamaan dan lokasi “i Mdang i bhumi Mataram ri Pohpitu”. Konon, Pohpitu merupakan lokasi dimana kadatwan (pusat pemerintahan) kerajaan Mataram berada, yang kini Pohpitu diketahui berada di Kabupaten Purworejo.
Pada era “Perang Jawa (Perang Diponegoro, 1825- 1830), malahan Bagelen sempat dijadikan sebagai karesidenan, dengan pusat karesidenan berada di Purworejo, terdiri atas (1) Kadipaten Semawung (cikal-bakal Kutoarjo), dan (2) Kadipaten Purworejo. Dalam perkembangannya, kemudian (tahun 1936) Semawung beserta sebagian wilayah Kadipaten Urut Sewu (Ledok) digabung dengan Purworejo. Adapun Kadipaten Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo. Jelas tergambar bahwa di masa lalu Bagelen (cikal-bakal Purworejo) terbilang penting. Demikian pula, ada sejumlah tokoh asal Bagelen yang sangat disegani, seperti Sunan Geseng, yang dikenal sebagai “ulama besar” yang berkontribusi dalam peng-Islam-an di timur Sungai Lukola, dan pengaruhnya meluas sampai memasuki Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Magelang. Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para tokoh Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya (Panembahan Senapati, tahun 1587-1601). Tatkala berlangsung “Perang Diponegoro”, Tanah Bagelen pun menjadi ajang pertempuran, dimana Pangeran Diponegoro mempetoleh dukungan luas dari warga Bagelen.
B. Para Tokoh Sejarah Asal Bhumi Bagelen
1. Duo Tjokro (Tjokrodipo dan Tjokronegoro)
Sumber data tradisi memberitakan bahwa salah seorang “tumenggung” di Bhumi Bagelen adalah Tjokrodipo, yang memerintah pada akhir tahun 1700-an. Sayang sekali, hingga sejauh ini tidak banyak didapat informasi tentang diri Tumenggung Tjokrodipo. Pemberitaan tentang dirinya terkesan “senyap” atau malah “disenyapkan”. Alih-alih, yang banyak didapati beritanya adalah Raden Adipati Aryo (RAA) Tjokronegoro I, yang tiada lain adalah Bupati I di Kabupaten Purworejo, yang memangku pemerintahan cukup lama (25 tahun), antara tahun 1831 -1856 Bila menilik garis keturunannya, tidak tergambar adanya hubungan “ayah-anak” antara Tjokrodipo dan Tjokronegoro, walaupun keduanya sama-sama mempunyaii unsur nama “Tjokro”. Latar keluarga Tjokronegoro, yang nama dirinya adalah “Raden Reksodiwiryo”, sebagai berikut.
Raden Reksodiwiryo merupakan putra dari Raden Ngabehi Singowijoyo, terlahir di Desa Bragolan Kecamatan Purwodadi — kala itu masuk di dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta, bagian dari Urut Sewu-Bagelen. Waktu kelahirannya adalah Rabu Pahing bulan Ramadhan tahun Ehe 1708 Tahun Jawa (17 Mei 1776). Ayahnya adalah tokoh kesohor di Kasunanan Surakarta dan sekitar Bagelen, yang memangku jabatan sebagai Mantri Gladhag, yakni pengawas pars nara pidana yang akan disidang di pengadilan, atau mungkin adalah pimpinan kantor pengurusan pajak keraton. Adapun R. Reksodiwiryo pernah mendapat pangkat “Panewu Gladhag”, yang membawahi sekitar seribu orang pekerja di tahun 1815.Pangkat itu dipeoleh dari Kasunan Surakarta, lantaran berdasar “Perjanjian Giyanti (tahun 1755)”, sebagian wilayah Bagelen masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Cukuplah lama Reksodiwiryo berada di Surakarta. Pada tahun 1825 Beliau memperoleh kepercayaan Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono (PB) VI untuk menyertai Kanjeng Kolonel Pangeran Kusumoyudo sebagai Senopati Pengamping untuk tugas menumpas Perlawanan Diponegoro di tanah Urut Sewu, yang kala itu menjadi bagian dari Bagelen. .
Atas jasanya itu, pada tahun 1828 R. Reksodiwiryo diangkat oleh PB VI sebagai “Tumenggung” pada
Daerah Brengkelan, dengan gelar “Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Cokrojoyo”, mempetoleh hak siti lenggah (tanah bengkok) seluad 500 bau (sekitar 350 hektar) di bumi Tanggung di timur Sungai Jali, Lesung dan Bogowonto serta selatan Lereng. Usai “Perang Jawa” pada tanggal 28 Maret 1830, wilayah Bagelen diminta “paksa” oleh Belanda (VOC) dari naungan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Wilayah Bagelen di sebelah timur dijadikan Kadipaten Brengkelan. Pada tatanan baru ini, Tjokrojoyo kembali didaulat sebagai “Bupati”. Beliau pun mengganti namanya menjadi Kajeng RAA Tjokronagoro I. Pada masa pemerintahannya ini, tepatnya pada tanggal 26/27 Februari 1831 Kabupaten Brengkelan digabung dengan sejumlah kabupaten lainnya untuk dibentuk menjadi sebuah ” Kabupaten” dengan nama “Purworejo”. Setelah memangku jabatan selama 25 tahun, pada tahun 1856 Tjokronegoro I turun tahta, lantad digantikan oleh putranya yang bergelar “KRAA Tjokronagoro II”.
Katumenggungan merupakan sistem pemerintahan “transisi” pada tingkat daerah pada Tanah Jawa, yaitu pasca Kadipaten namun sebelum masuk era Kabupaten. Ketika Tjokrodipo menjadi pemimpin daerah, dengan jabatan “Tumenggung”, daerah yang berada di Kedua Selatan tersebut berstatus sebagai “Katumenggungan” yang madih bernama “Bagelen.” Dengan demikian, kala itu Tjokrodipo memangku jabatan “Tumenggung” di Bagelen, yakni sebelum era Pemerintahan Kabupaten Purworejo. Kurang dapat dipastikan apakah Tjokrodipo merupakan Tumenggung Bagelen yang erakhir ataukah masih terdapat seorang lagi Tumenggung di setelahnya sebelum berubah menjadi Kabupaten Purworejo. Bila merunut garis keturunan tersebut.
Lantaran sumirnya pemberitaan tentang Tjokrodipo, kita hanya mendapatkan info bahwa Tjokrodipo memerintah sebagai Tumenggung di Bagelen (kini “Purworejo”) pada akhir tahun 1700-an. Tepatnya dari tahun berapa hingga tahun berapa?, belumlah diperoleh informasinya secara akurat. Boleh jadi, masa memerintahnya hingga awal tahun 1800-an, malahan sampai hadirnya Kabupaten Purworejo (tahun 1831). Bisa jadi pula, pasca pemerintahnya, tampil puteranya untuk menggantikannya sebagai “Tumenggung” — yang untuk sementara dinamai “Tjokrodipo II”. Apabiila benar demikian, berarti semasa pemerintahan Tumenggung Tjokrodipo (dan mungkin penggantinya, yakni Tjokrodipo II), terjadi “Perang Jawa (Perang Diponegoro)” pada tahun 1825-1830. Kawasan Bagelen menjadi ajang pertempuran faksi “yang pro” versus “yang kontra” Perlawanan Diponegoro. Pertanyaannya adalah : Tumenggung Tjokrodipo dan sanak keturunannya berpihak kemana?
Pada sebagian wilayah Bagelen yang berada dalam wilayah Kasunanan Surakarta, afiliasi dari warganya diarahkan kepada “pihak kontra”. Sebaliknya, tidak sedikit warga Bagelen yang menjadi “pendukung setia” Diponegoro, jumlahnya hingga sekitar 3000 orang. Tumenggung Nilosrobo berpihak kepada Diponegoro, sehingga terjadilahbperang besar di Bagelen. Terbesitlah berita (baca tulisan “Angko Setiyarso Widodo, Terlahir dari Anak Pejuang”, Sabtu tanggal 29 Mei 2010″) bahwa Tumenggung Tjokrodipo (boleh jadi Tjokrodipo II, yang mungkin berkerabat dengan “Nilosobo”) menjadi “pendukung setia” Diponegoro. Oleh karena sanak keturunan Tjokrodipo berada di pihak P Diponegoro, maka pasca Perang Jawa, sanak keturunan Tjokrodipo tidak dibetikan “panggung” di dalam birokrasi pemerintahan di Kabupaten Purworejo dalan waktu yang lama hingga Masa Kemerdekaan RI.
2. Sunan Geseng dan Sanak Keturunannya
Adalah Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo, yang metupakan salah seorang murid (santri) dari Sunan Kalijaga. Beliau kemudian mempetoleh anugerah nama “Sunan Geseng”. Dalam tradisi lisan (legenda) Sunan Geseng dinyatakan sebagai berjasa menjadi “pesiar Islam” di Jawa tanah Selatan, dari timur Kali Lukola hingga DIY serta Magelang. Pengaruhnya demikian kuat di Kedu Selatan, termasuk Bagelen. Sebutan “Geseng” Itu diberikan oleh Sunan Kalijaga lantaran Mas Cokrojoyo demijian setia terhadap perintahnya.nSiapakah R M Cokrojoyo itu? .
Suatu legenda yang perlu untuk ditelisik akurasinya menyatakan bahwa Cokrojoyo merupakan putera Pangeran Semono. Adapun Samono adalah salah seorang keturunan Prabu Brawijaya. Ada pula yang menghubungkan Samono sebagai keturunan dari Nyi Ageng Bagelen, dengan urutan (silsilah) : Nyi Ageng Bagelen – Bagus Gentong (Gento) – Raden Danarmoyo – Raden Tara Rengganis – Pangeran Semono (Pangeran Muryo) – Kyai Cokrojoyo I alias Sunan Geseng. Menurut Babad Jalasutra, Cokrojoyo juga merupakan murid Sunan Panggung (Raden Watiswara), yakni cucu Brawijaya V. Namun, ada pula pendapat bahwasanya Sunan Panggung dan Cokrojoyo adalah orang yang sama.
Pertemuannya dengan Sunan Kalijaga terjadi ketika Sunan Kalijaga melakukan syiar Islam ke wilqyah pedalaman Jawa. Kanjeng Sunan pun mendengar keberadaan Cokrojoyo, yakni seorang penyadap nira (tukang nderes). Suatu waktu Cokrojoyo lantunkan tembang, yang membuat Kanjeng Sunan Kalijogo takjub, lantas mendekatnya. Sebaris kalimat dari tembangnya berbunyi”Klontang klantung, wong nderes buntute bumbung”. Ketika dia ditanya “untuk apa hasil penjualan gula aren buatannya? “, maka dijawab “untuk fakir-miskin”, Mendengar jawaban itu, Sunan Kalijaga perintahkannya untuk mengubah syair tembangnya itu dengan lantunan dzikir dan pujian kepada Allah. Selanjutnya Kanjeng Sunan melanjutkan perjalanan ke tempat lain”. Begitu pula halnya dengan Cokrojoyo, kembali membuat gula aren sembari menembangkan syair barunya yang didapatkan dari Kanjeng Sunan. Cokrojoyo sangat terkejut melihat gula hasil olahannya menjadi emas batangan. Demi menyadari keanehan itu, Cokrojoyo mencari Sunan Kaljogo untuk ucapkan terima kasih, sekaligus meminta agar Kanjeng Sunan berkenan mengangkatnya sebagai murid.
Setelah rampung menimba ilmu ke-Islam-an dari Sunan Kalijaga, lantas Sunan Geseng ditugaskan untuk berdakwah di daerah Purworejo, kemudian diperluas lagi hingga ke berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti di Klaten, Yogyakarta, Magelang, Demak, bahkan hingga memasuki Tuban, sehingga bisa difahami bila petilasan Sunan Geseng didapati di lebih dari satu tempat. Di Purworejo misalnya, , petilasannya berada di Dusun Gatep, Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen. Pada kegenda itu, nama dari Sunan Geseng adalah “Cokrojoyo”. Menarik untuk disimak bahwa unsur nama “Cokro (dalam ejaan lama “Tjokro”) dijadikan sebagai unsur nama dari sejumlah tokoh Bagelen (Purworejo), antara lain adalah “Tjokrodipo, Tjokronegoro dsb. “. Apakah Tumenggung Tjokrodipo afalah keturunan jauh dari Tjokrojoyo (Sunan Geseng) ? .
Jawab mengenai ertanyaan itu belumlah diperoleh formasinya secara akurat. Data oral (tradusi lisan) dan babad memberikan urut keturunan : (1) Sunan Geseng (Tjokrojoyo); (2) Joko Bedug (Kyai Karto Manggolo, atau R. Tjokrojoyo III, Bupati di Bedug bergelar “R. Adipati Nilosobo I”); (3) R Tjokrojoyo III (salah seorang diantara dua anak Nilosobo I, yang disebut dengan “R. Bumi” atau Adipati Danurejo, aliasvTumenggung Ronggowongso, atau Nilosobo II, seorang Bupati di Bedug pada daerah Bagelen; (4) R.Ng.Nosuto (salah seorang dari enam putra Cokrojoyo III, yang ernama gelar “R Ng Ronggo Wongso”); (5) R.M. Singowjoyo (salah satu dari dua putra R. A. Nosuto). Dari pernikahan Notosuto dan R. Ayu Sekar Dhadhu lahirlah tiga orang putra, yaitu (a) R.T Tjokrojoyo, Bupati di Tumbak Anyar, (b) R.T Kertoyudho, dan (c) R. Yudhosoro; (6) Raden Adipati Tjokronagoro I (Reksodiwiryo, Bupati I Purworejo, salah satu dari tiga putra Singowijoyo).
Berikut ini penjelasan terhadap sebagian dari urutan keturunan di atas. Lantaran R. Ng. Nosuto wafat ketika istrinya masih muda, maka R. Ayu Sekar Dhadhu nikah lagi dengan saudara dari suaminya, yaitu R Ng. Rogowongso (Ki Setrajaya) — seorang pembantu setia Paku Buwono I, kemudian diangkat menjadi “patih” dengan gelar “Adipati Tjakrajaya (R A.A. Danurejo)”. Dari perkawinan ini lahirlah : (a) R Nilosrobo III, yang kemudian menjadi Bupati Bedug III, (b) R. Kertomenggolo, Bupati Bedug IV, (c) R. Rogoyudho, dan (d) R.R. Ragil. Selanjutnya, R.R. Ragil menikah dengan R. Ng. Nosingo, yaitu Mantri Gladhag di Keraton Surakarta, dan mendapatksn karunia seorang anak bernama R. Ng Singowijoyo, yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai Mantri Gladhag juga. R. Ng. Singowijoyo memiliki tiga orang putra, yaitu (a) R. Ng. Resodiwiryo,(b) R. Nganten Secowikromo (Citrowikromo), yskmi istri dari R. Demang Citrowikromo di Tlepok, dan (c) Raden Prawironegoro. Pada urut keturunan ini, twk diperoleh gambaran yang jelas tentang hubungan geneologis antara Sunan Geseng dan Tjokrodipo. Hal itu bukan berarti bahwa antara keduanya tidak terdapat hubungan geneologis. Tidak didapatinya Tumenggung Tjokrodipo pada urut keturunan itu maupun posisinya pada administrasi pemerintahan di Bagelen bisa jadi karena sumber silsilahnya dari Kasunanan Surakarta. Pada silsilah versi lain, misal versi Kesultaan Yogyakarta, boleh jadi keberadaan Tumenggung Tjokrodipo dan sanak-keturunannya didapatkan, selanjutnya disingkap kesejarahannya.
3.Maharaja Balitungvdi Era Keemasan Matatam
Tidak banyak berita yang diperoleh mengenai kurun waktu dalam kurun waktu yang panjang — dari era Tumenggung Tjokrodipo di era Perkembangan Islam hingga Maharaja Balitung di masa Hindu- Buddha. Telisik terhadap kesejarahan Bagelen di Masa Hindu-Buddha membawa krpada kerajaan Mataram, tepatnya di era Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung Sri Dharmmo- daya Mahadanbu, yang memerintah selama 12 tahun (899-911 Masehi). Unsur nama gelar (abhisekanama) “Rake Watukura”, memberi petunjuk bahwa Watukura adalah tanah lungguh (apansge) dari Dyah Balitung, yang kini menjadi nama desa di wilayah Purworejo, yang berada di muara sungai Bogowonto.
Desa Watukuro dikelilingi Sungai Bogowonto dan Sungai Lereng. Dahulu di Desa Watukuro terdapat tumpukan bata-bata besar, namun sayang sekali kni diatasnya didirikan cungkup beserta makam. Selain itu terdapat sebuah batu berbentuk bulat panjang pada dasar muara – pertemuan sungai Bogowonto dan Lereng. Terdapat juga dua buah lumpang batu dan gundukan tanah pada tepi Sungai Bogowonto, yang boleh jadi menyimpan tinggalan budaya masa lalu di dalamnya. Pernah pula dijumpai lingga dan yoni, yang sekarang disinpan di museum Tosan Aji Purworejo. Menurut infornasi Sudibyo, yakni Filolog Univrrsitas Gajah Mada, suatu psasti yang konon berasal dari Desa Watukuro dan saat ini berada di Copenhagen, Denmark.
Menurut prasasti Mantyasih (907 Masehi), yang memuat urut keturunan (silsilah) dari raja-raja Mataram sejak raja Sanjaya, nama Balitung berada di urutan ke -9 — pada silsilah di Prasasti Wanua Tengah III (908 Masehi), Balitung berada di urutan ke-13. Gelar “Rake (Rakai)” pada sebutan “Rake Watukura” itu menunjukkan bahwa konon Watukura adalah “watak (watek)”, yaknu kumpulan sejumlah desa (wanua) yang membentuk federasi di bawah pimpinan Rakryan. Dalam konteks ini, Dyah Balitung pernah menjabat “Rakyan” di Watak Watukura — sebelum menjadi raja di Mataram.
Naik tahtanya dari Rakai ke Raja tersebut lantaran perkawinan antara Balitung dan raja Mataram yang terdahulu (Rakai Watuhumalang) pada pada tahun 907 Masehi, seperti tergambar di dalam prasasti Mantyasih. Perihal ini terlihat pada unsur gelarnya, yaitu “dharmma”, pada sebutan “Sri Dharmmodaya Mahasambhu”. Menurut R Ng. Poerbatjaraka, nama raja yang berunsur gelar “dharmma” menjadi suatu pertanda bahwa Balitung naik tahta di Matatam karena prrkawinan. Ada pendapat yang berbeda, yakni Balitung bukan menantu Watuhumalang, melainkan adalah putranya. Dasar pertimbangan adalah pada prasasti bertarih 899 Masehi raja Balitung itu telah menakai sebutan “Dharmmodaya Mahasambu”. Padahal terdapat pendapat, yang menyatakan bahwa pernikahan Balitung itu terjadi pada tahun 907 Masehi.
.
Pada pradasti Mataram sebelum tahun 929 Masehi disebutkan “keterangan lokasional” bahwa bukota kerajaan (kadatwan) kerajaan Mataram berada di Pohpitu, dengan kalimat “i Mdang i Bhumi Mataram ri Pohpitu”. Ada kmungkinan lokasi Pohpitu berada di Desa Popongan Kecamatan Bamyu Urip wilayah Purworejo. Areal ini mempunyai bentang geografis datar dan lahan sebagian besar dimanfaatkan oleh warga untuk pertanian, perkebunan serta perikanan.
Berdasar cerita dari leluhur bahwa Desa Popongan konon bernama “Poh Pitu”, yang kini lokasinya di Popongan Kidul. Pada areal ini sekarang terdapat tempat peribadatan Hindhu bernama “Kentheng” di Dukuh Kriyan, Toponimi “Kriyan” mengingatkan kita pada gelar “rakryan”, dimana Balitung menyandang gelar “Rake (Rakai, Rakai+an= Rakryan) Watukura Dyah Balitun. Didekatnya, yaitu Desa Tugu, tepatnya Dukuh Gegunung, pada pahun 1974 diketemukan 2 buah yoni Setelah dilakukan penggalian (dengan kedalaman kurang lebih 8 meter) ditemukan sebuah Lingga.Menurut legenda lokal, nama “Pongpongan” berkenaan dengan adanya pohon mangga (poh) berjumlah tujuh bbuah (pitu), sehingga dinamai juga dengan”poh-poh-an”, yang kemudian berubah sebutan menjadi “popongan”. Hingga kini di desa Pongpongan banyak tumbuhi pohon poh.
Salah satu di antara 38 prasasti Balitung ada yang ditemukan di Purworejo, yaitu Prasasti Kayu Ara Hiwang, yang diketemukan di Desa Boro Wetan (Kecamatan Banyuurip) — satu kecamatan dengan Desa Pongpongan. Tarikh prasasti menujuk pada 5 Oktober 901 Masehi, yang sama tahun dengan Prasasti Mantyasih. Prasasti ini didapat di bawah pohon sono di Dusun Boro Tengah (kini termasuk wilayah Boro Wetan) pada tepi Sungai Bogowonto (nama arkhais “Ci Watukura”). Sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan No. Inv. D 78. Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto. Pokok isi Prasasti Kayu Ara Hiwang adalah penetapan desa (wanua) Kayu Hara Hiwang sebagai ” Sima (perdikan, swatantra)”, yang dihadiri oleh berbagai pejabat dari berbagai daerah, antara lain dari Watu Tihang (Sala Thang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (kini “Prambanan”), Mantyasih (kini menjadi “Matesih” di Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji, berada di Prambanan), Pekambingan, danbKalungan (kini “Kalongan” di Loano).
Pada masa pemerintahan Balitung, kerajaan Mataram mencapai “masa keemasan (golden periode)”-nya. Wilayah kekuasaan kerajaan yang mulanya hanya sebatas wilayah Jawa Tengah diperintah hingga memasuki separo Jawa Timur, bahkan ditafsir hingga ke Bali. Menurut R. Ng Purbacaraka,Dyah Balitung adalah pangeran yang berasal dari Kedu selatan (Bagelen), sebab unsur nama gelarnya “Watukura”, berada di daerah ini Dari Bagelen ini konon Bhumi Mataram diperluas kekuasaan hingga ke Jawa Timur — ada pula yang menyatakan bahwa ekspansinya hingga ke Bali Dwipamandala. Balitung adalah seorang “raja pejuang”, yang gigih meraih kejayaan Mataram. Bila demikian, tergambar bahwa Bagelen telah menjadi “bumi juang” semenjak Masa Hindu-Buddha.
C Bagelen sebagai Bhumi Juang Lintas Masa
Seolah “telah digariskan” bahwa dari masa ke masa Bagelen tampil sebagai “bhumi juang”. Area dimana deretan perjuangan telah berlangsung di dalamnya. Dalam perjalanan panjang pada sejarah daerahnya, Purworejo dipiilih dan dijadikan pusat penerintahan, semenjak masa Hindu- Buddha, Masa Kolonial, dan hingga kini. Seperti terpapar di atas, sejak Masa Hundu-Buddha, tepatnya di era pemerintahan raja Balitung, bhumi Bagelen — yang konon disebut “Mdang i Bhumi Mataram” menjadi basis juang untuk meraih kejayaan Mataram.
Spirit kejuangan Bagelen berlanjut hingga ke Masa Perkembangan Islam, dimana Sunan Geseng asal Bagelen menjalankan siar Islam ke daerah Kedu Selatan, dan kemudian diperluas lagi hingga ke sejumlah tempat di wilayah Jawa Tengah dan bahkan mencapai Tuban. Hingga kini pun Eks Bagelen (sekarang “Purworejo”) dikenal “sentra pendidikan Islam”. Para kyai besar tak sedikit yang berasal dari Bagelen. Salah satu diantaranya adalah Kyai Taptajani, mahaguru Bupati I Purworejo (RAA. Cokronegoro I), Pangeran Diponegoro, Pangeran Adisuria dan Patih Danurejo. Makam Kyai Taptajani atau Taptonjani (nama aslinya “Taftazani”) berada di bukit bernama “Kayu Lawang” pada Desa Mudal Kecamatan Purworejo Walau pada mulanya tempat mengajarnya di Pathok Negoro Desa Mlagi, Sleman, namun lokasi makamnya berada di Kayu Kawang, Purworejo.Ulama lain asal Purworejo adalah Kyai Ghozali, yakni kakek buyut Muhammad Prananda Prabowo.
Dalam pembentukan kasultanan Mataram Bagelen pun turut berkontribusi. Sejumlah “kenthol (tokoh andalan)” asal dari Bagelen oleh Sutawijaya (nama gelar “Panembahan Senapati”) dijadikan sebagai pasukan utama Mataram. Sebenarnya, bukan hanya di era Kasultanan para tokoh asal Bagelen berperan dalam operasi militer, namun hingga di masa-masa sesudahnya, sehingga Bagelen sangat disegani di daerah-daerah lain. Posisi sentra dan kontribusinya tercatat kesejarahan Jawa, tidak terkecuali di Masa Kolonial, semenjak era VOC, Hindia-Belanda hingga agresi militer di era Perang Kemerdekaan. .
Tatkala terjadi “Perang Jawa (Perang Diponegoro)” pada tahun 1825- 1830 bhumi Bagelen pun menjadi palagan perang. Pangeran Diponegoro memperoleh dukungan luas dari warga Bagen dan warga daerah sekitarnya. Begitu pula di era “Perang Kemerdekaan (1945-1948)”, dimana Bagelen (Purworejo) kembali menjadi “ajang juang’. Ada sejumlah pejuang besar, seperti Urip Sumoharjo, Ahmad Yani, Sarwo Edy Wibowo, W.R. Supratman pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, merupakan tokoh- tokoh pejuang asal Bhumi Bagelen. Termasuk diantara mereka adalah Muhammad Ridwan Tjokrodipo, yakni adik kakek Prananda, yang pada Agresi Militer I (tahun 1947) dan II (1948) menjadi Komandan Pasukan Laskar BPRI di Purworejo serta Komandan MPK Purworejo. Sarwo Edy Wibowo merupakan teman seperjuangan dari M. Ridwan Tjokrodipo.
Wilayah Bruno di Bagelen yang pada era Perang Kemerdekaan (1945-1948) menjadi areal markas persembunyian para pejuang kemerdekaan, selama setahun (1948-1949) dijadikan sebagai Ibukota dari Provinsi Jawa Tengah “Dalam Pelarian”, lantaran saat itu Semarang dikuasai oleh Belanda. Gubernur provinsi Jawa Tengah kala itu, yaitu KRT Wongso Nagoro, bertempat tinggal di rumah Dul Wahid,, yakni warga Desa Kembangan, dengan mendapat dukungan dari “Pemerintahan Militer” masa Perang Kemerdekaan II. Di seni ditempatkan satu batalyon TNI — yang membawahi dua peleton dan empat kompi pasukan, dibawah pimpinan R Sroehardoyo. Sejarah juang dari masa ke masa di daerah Bagelen (Purworejo) tersebut menjadi cukup alasan untuk mempredikati Bagelen (Purworejo) sebagai “bhumi juang lintas masa”.