DUNIA PEMBERDAYAAN DUNIA KEMANUSIAAN (1)

DUNIA PEMBERDAYAAN DUNIA KEMANUSIAAN (1)
Oleh: A. Bustanul Arif

Salah satu nilai terbesar yang saya cintai dari sebuah aktifitas (kerja) pemberdayaan adalah humanisme. Saya bekerja dalam frame humanitas, menyentuh aspek terdalam manusia, yakni kebutuhan dan haknya akan hidup yang layak dengan peningkatan kualitas individualnya, baik dari sisi emosional, intelektual, maupun skill kehidupannya.

aren1    Bekerja di pemberdayaan berarti bekerja membangun manusia. Manusia yang secara hakiki memiliki nilai dan hak yang sama antar sesamanya, namun seringkali berada dalam disparitas yang dalam antara modal dasar (kapasitas individualnya) dengan akses terhadap pengetahuan. Tentu bukan karena mereka “bodoh”, namun lebih pada tidak adanya jembatan yang strategis untuk menghubungkan mereka pada ranah pengetahuan itu. Hal inilah yang semakin lama semakin menumpulkan kapasitas mereka sehingga disparitas itu semakin lama semakin lebar yang mengakibatkan “keberdayaan” mereka jauh dari jawaban akan pemenuhan hak yang sesungguhnya mereka miliki.

aren3Di sinilah kemudian dibutuhkan jembatan itu. Dan jembatan itu harus dibangun oleh mereka-mereka yang konsen dalam bidang pemberdayaan dan kemanusiaan. Tentu saja, hal ini harus didukung dengan dana yang kuat dan sistem yang mapan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kalimantan, satu-satunya hal yang tepikirkan untuk  saya lakukan adalah melakukan kerja kemanusiaan (melalui upaya sistematis pemberdayaan). Lucunya, niat itu begitu kuat meskipun kondisi saya secara pribadi juga masih perlu “diberdayakan”, terutama dalam hal ekonomi. Namun, entahlah… saya masih saja merasa bahwa diri ini masih gagah berdiri. Saya masih berdaya, terutama dari sisi intelektualitas dan mentalitas. Artinya, saya punya bekal pengetahuan yang cukup yang mampu melahirkan kesadaran akan tanggung jawab saya secara pribadi maupun sosial dan masih memiliki skill yang cukup untuk bertahan hidup, bahkan untuk membangun nilai diri secara sosial dan spiritual. Ini menjadi modal atau amunisi saya yang cukup untuk melangkah dalam rangka berbuat sesuatu untuk pemberdayaan masyarakat.

aren2Maka ketika aktifitas (kerja) pemberdayaan itu saya lakukan, kontan melahirkan respon dari masyarakat lokal. Tentu responnya ada yang negatif dan ada yang positif. Yang negatif melihat saya sebagai orang asing yang melakukan sesuatu yang asing bagi mereka dan tentu saja dibumbuhi dengan rasa curiga bahwa saya memiliki kepentingan terselubung (kepentingan politis), karena beberapa orang yang saya dekati memiliki kekuasaan politik baik di tingkatan lokal desa maupun di tingkat wilayah kabupaten.

Saya menyadari ini adalah salah satu risiko berada di lingkungan kehidupan yang menganggap lingkaran kekuasaan adalah lingkaran anggaran (uang) yang menjadi daya tarik untuk dibuat bancaan (rebutan), padahal logika dan nalar saya tidak ke sana. Maka menjadi wajar jika ada yang curiga dan mencemooh saya: ngadeg wae durung jejeg kok wis ngajak mlaku wong (berdiri saja belum kuat kok mau mengajak orang berjalan). Tapi saya menyadari ini adalah salah satu ironi sosial yang tentu berasal dari nalar koruptif yang menganggap bahwa tidak pernah ada niat baik, kecuali niat licik yang dibungkus dengan manis. Ah… tapi biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Keyakinan saya, pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa yang saya lakukan ini sangatlah berharga.

aren 4Selain mereka yang curiga dan negatif terhadap kehadiran dan peran saya, ada pula orang-orang positif yang percaya bahwa apa yang saya (ingin) lakukan adalah hal baik yang sangat bernilai dan membutuhkan dukungan moral, sarana dan wadah untuk menjalankannya. Maka beberapa dari mereka membukakan jalur itu. Meski secara signifikan hasil dari pemberdayaan berupa perubahan perilaku dan output material tak tercapai secara maksimal (seperti yang saya targetkan), namun paling tidak sudah banyak input positif yang telah saya lakukan dalam komunitas-komunitas lokal yang sebenarnya juga memberikan dampak positif bagi kehidupan dan penghidupan mereka, meski sekali lagi belum signifikan sebagai sebuah perubahan yang masif. Dan saya cukup menyadari hal ini karena pada kenyataannya saya tidak bisa sendiri. Hanya satu prinsip saya: Kalau tidak saya, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Singkatnya, saya lakukan upaya pemberdayaan itu tanpa embel-embel lembaga dan dana. Murni diri pribadi. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri mengingat bahwa diri sendiri dan keluarga masih butuh juga diperjuangkan. Namun saya hanya punya keyakinan, bahwa apapun yang saya lakukan selama saya sandarkan pada niat baik untuk mengamalkan ilmu, nilai, dan pengetahuan saya, maka Tuhan akan melirik saya dan memberikan apresiasi (atau belas kasihan) sehingga suatu saat nanti Ia akan mengangkat derajat saya. Dan empat tahun kemudian hal itu terjawab.

Bayangkan, setelah melalui proses “bekerja” memberdayakan masyarakat secara independen, sendiri, dan TANPA ADA YANG MEMBAYAR, pada akhirnya saya dipertemukan oleh Tuhan dengan seseorang yang bekerja di jalur yang sama, yakni pemberdayaan masyarakat (khususnya ekonomi), dari sebuah lembaga besar yang punya nama bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional, yaitu Yayasan Sahabat Cipta (dulunya adalah Swiss Contact Indonesia). Dengan sumber dana yang besar dan sumber daya yang kuat, juga manajemen yang mapan, maka kemudian saya masuk menjadi bagian dari sistem kerja sosial mereka, khusunya yang berorientasi pada social enterprise. Dan di situlah kemudian fase baru sejarah saya (baca: cerita menarik saya) dimulai.

aren 5Proyek pertama yang saya tangani adalah program pengembangan sektor kelapa atau Coconut Sector Development (CSD) dengan funding dari Hivos Belanda. Saya bekerja di dua area kabupaten, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Di program itu saya bertanggung jawab mengorganisasi komunitas, membentuk kelompok-kelompok perajin kelapa, yakni perajin gula kelapa dan minyak goreng kelapa. Di kelompok perajin gula kelapa saya harus memfasilitasi mereka untuk mendapat pengetahuan dan skill baru bagaimana membuat atau memproduksi gula kelapa yang baik (sesuai dengan standar good produktion practices) dan sesuai dengan standar kesehatan, mengingat selama ini (berdasarkan hasil penelitian awal di lokasi) semua perajin gula kelapa di dua wilayah itu tidak melakukan produksi sesuai standar kesehatan, bahkan menggunakan obat kimia untuk menjadikan aren yang sudah tidak layak olah menjadi gula. Tanpa obat itu aren tidak bisa diolah menjadi gula karena sudah melebihi standar layak olah, yakni sudah berbusa dan membusuk.

Ini menjadi tantangan pertama. Mengapa? Karena para perajin atau pembuat gula kelapa itu sudah terbiasa dengan proses atau cara produksi ala mereka yang tidak lagi mempedulikan efek gangguan kesehatan yang bisa ditimbulkan dari cara produksi mereka yang menggunakan tambahan obat kimia itu, padahal mereka sendiri tidak mau mengonsumsi gula hasil produksi mereka sendiri karena mereka tahu bahan obat yang dipakai bisa menyebabkan penyakit bagi tubuh mereka.

Ketika kami datang untuk menawarkan cara baru produksi gula yang sehat, alami, dan bernilai jual tinggi, tidak semua dari mereka menyambut positif dan antusias. Sebaliknya, mayoritas mereka menolak dengan cara baru itu. Alasannya, “begini saja lebih mudah”. Mereka tak mau repot-repot menjalankan cara baru karena cara baru itu membutuhkan kedisiplinan soal waktu, yakni nira tak boleh lebih dari 7 jam harus sudah dimasak. Sementara selama ini mereka mengambil nira seenak mereka waktunya, bahkan bisa lebih dari 24 jam. Bisa dibayangkan niranya akan seperti apa.

Tentu saja tantangan ini tidak menjadi masalah besar. Akhirnya, kami mengajak beberapa orang saja yang mau diajari dan difasilitasi untuk membuat gula kelapa dengan cara baru yang lebih sehat dan bernilai jual tinggi. Bukan hanya itu, mereka pun kami fasilitasi dengan rumah produksi yang layak (lebih bersih) dengan tungku hemat energi dan fasilitas jaringan pemasaran produk-produk yang dihasilkannya (gula yang sehat itu).

Tantangan kedua muncul, yakni resistensi dari beberapa perajin yang telah memiliki ikatan dengan para BOS. Mereka khawatir kehadiran kami dan produk baru yang dihasilkan dari cara baru ini akan mengganggu hubungan mereka dengan bosnya. Perlu saya jelaskan bahwa ternyata ada hubungan yang tidak sehat antara bos dengan perajin gula. Umumnya hubungan yang tidak sehat itu disebabkan oleh hutang yang besar. Bayangkan, rata-rata perajin gula itu memiliki hutang minimal 12 juta rupiah kepada bosnya, padahal kalau dilihat dari tempat tinggalnya sangat menyedihkan. Bagaimana orang yang rumahnya seperti gubug memiliki hutang yang begitu besarnya, yang membuat mereka terus bergantung pada bos dan tidak pernah memiliki tabungan untuk masa depannya. Ini sebuah ironi, mengingat kenyataan itu bukan semata-mata salahnya para bos yang memberikan hutang kepada mereka, tetapi juga salah para perajin itu yang cenderung lebih memuja gaya hidup (membeli motor baru, pulang ke Jawa dengan gagah dan membawa banyak uang, dan lain sebagainya). Maka sering saya didatangi orang-orang (perajin) yang mau mengikuti program CSD dengan syarat: “Kalau bapak mau membayar hutang saya ke bos, maka saya mu ikut program bapak.” Hahaha…… saya tidak bisa berkata-kata. Ini saya yang gila atau apa???

Tapi itulah salah satu gambaran realitas di bawah. Betapa kompleksnya persoalan hidup yang tentu tidak bisa diselesaikan dengan cara memberi mereka solusi alternatif, apalagi memberi bantuan uang, karena ada sikap yang tidak benar terhadap uang dan orientasi hidup. Sementara di sisi yang lain problem kemiskinan dan ketidakberdayaan masih membelenggu sebagian besar mereka. Berarti yang harus dimasukkan adalah kesadaran akan hal ini, bahwa di dalam hidup ini kitalah yang paling bertanggungjawab terhadap diri dan kehidupan kita sendiri, bukan orang lain. Sehingga akan aneh jika kita yang melakukan kesalahan tetapi orang lain yang kita inginkan untuk menanggung akibatnya.

Dan alhamdulillah dari sekian banyak jumlah perajin gula itu kami berhasil mengorganisasikan ke dalam satu kelompok yang kemudian mau menjalankan cara produksi yang baik sehingga nilai jual dari produk mereka juga lebih tinggi dari biasanya. Jika produk yang lama mereka bernilai Rp 7.000 – Rp 9.000, dengan cara baru yang diajarkan ini produk mereka bisa terjual dengan harga Rp 14.000 – Rp 16.000 per kilo gram-nya. Tentu ini peningkatan yang luar biasa. Bahkan saat ini harga di pasaran berkisar Rp 23.000 hingga Rp 24.000, dan pasar masih sangat kekurangan suplai.

Lalu apa kata mereka setelah semua itu terbukti memberikan hasil yang signifikan? Mereka sangat berterima kasih dan cara mereka menyambut setiap kedatangan kami sangat mengharukan. Di awal, kami datang dengan cinta, dan di akhir program kami pun dilepas dengan cinta dan keharuan. Itulah buah manis dari pemberdayaan. Itulah buah manis dari kerja kemanusiaan. KITA BAHAGIA KETIKA BISA MEMBUAT ORANG LAIN BAHAGIA.

Bersambung…..

Kutai Kertanegara, 20 September 2016




Leave a Reply

Your email address will not be published.