“Merawat Aset “Intangible”Kampung oleh Ahmad Afandi (pembakti kampung Polehan – Kota Malang )

Bila kampung di ibaratkan sebagai sebuah “holding company”, yang memiliki kekayaan luar biasa ditambah dengan daya dukung jaringan infrastruktur “bisnis”-nya. Tentu merupakan sebagai aset yang memiliki kekuatan dasyat didalamnya. Selanjutnya dicermati dari asetnya Kampung juga memiliki dua jenis kategori aset layaknya sebuah perusahaan.

Pertama adalah aset ” tangible “, yang kasat mata, yaitu berupa sumber daya manusia yang melimpah dengan jaringan yg terus berkembang dan tersebar luas, mandiri, dan profesional.

Kedua adalah aset “intangible”, aset berharga yang tidak kasat mata yang dimiliki berupa pikiran maju (progresifisme), filantropisme, dan asketisme. Semua kekayaan ini adalah “harta” tak ternilai yang selama ini menjadi Élan vital (daya pendorong vital), menjadi ruh dan sumber kekuatan gerakan Jaringan Kampung.

kampung cempluk dalam progresifisme merupakan sebuah gerakan untuk menumbuhkan ruang yang dimiliki dalam kampung itu sendiri. Artinya
sekecil apapun nilai yang ditanamkan akan mempunyai nilai kebermanfaatan jika di manfaatkan dengan benar. Hal ini dikarenakan ruang kampung dapat digunakan sebagai tempat bersilahturahmi, berbagi ide dan gagasan.

Filantropi diartikan sebagai sebuah sumbangan dalam bentuk materi maupun nonmateri untuk mendukung sebuah kegiatan yang bersifat sosial tanpa adanya balas jasa bagi pemberinya. Definisi di atas menunjukkan bahwa tujuan utama yang mendasari setiap definisi filantropi adalah cinta atas dasar kemanusiaan yang diwujud.

Salah satu bentuk filantropisme kontemporer dari kampung cempluk adalah berhubungan erat dengan rasa kepedulian, solidaritas sosial warganya dan kegiatan derma olehpenggagas kampung itu sendiri yang telah melebur menjadi satu kesatuan kultur akuturasi budaya. Kegiatan derma itu sendiri merupakan upaya bagaimana dapat meringankan beban kehidupan masyarakat

Aset “intangible” ketiga Kampung bernama asketisme, secara leksikal asketisme adalah paham yang mempraktekan kesederahanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. James L Peacock, menguraikan salah satu faktor daya tahan atau resiliensi dan dinamisasi kampung tidak terlepas dari asketisme penggiat kampung itu sendiri. Seiring waktu sikap asketis ini menjadi inspirasi sekaligus keteladanan bagi para warga dan penerus penggiat kampung.

Seperti apa yang di jalani oleh Redy Eko Prasetyo selaku penggagas jaringan kampung dan pendiri Kampung Cempluk. Ia punya cita-cita besar dalam mengangkat kampung keluar dari stigma komunitas masyarakat kelas dua.Mendengar kata CEMPLUK sekarang, identik dengan kampung yang dapat menginspirasi semua orang. Membuka mata hati kita semua, menjadi cermin bagaimana sesungguhnya sebuah tatanan yang sehat dalam sebuah struktur bermasyarakat diberlakukan.Budaya gotong-royong dan kebersamaan menjadi kekuatan yang diterjemahkan dalam laku proses menyiapkan dan melaksanakan Kampung Cempluk.

Spirit asketisme ini Dilevel akar rumput masih banyak penggiat/ aktivis yg secara tulus dan ikhlas berjuang tanpa pamrih demi meraih kejayaan jaringan kampung. Perhelatan budaya kampung (contoh kampung cempluk) selain menyita perhatian, perhelatan ini juga menyedot dana dan semua sumber daya. Sebagai media akar rumput, kampung juga dapat menjadi forum yang membahas berbagai usulan, program dan “platform” dengan pikiran progresif yang cerah dan mencerahkan yang dijiwai oleh spirit filantropisme dan asketisme.

Ketiganya adalah sebagai aset “intangible” pengembangan jaringan kampung yang harus dirawat dan dijaga agar tetap hidup selamanya.
(AN.25/09/22)




Leave a Reply

Your email address will not be published.