SAJEN DALAM KONTEKS KERAGAMAN SOSIO-KULTURA NUSANTARA – OLEH M.DWI CAHYONO

A. Ragam Sebutan “Sajen” dan Kadungan Arti
Sebutan “sajen” adalah kata jadian, berkata da- sar “saji” dengan akhiran “an” (saji+an = sajen). Kata “saji” telah kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna dan Tengahan, yang secara harafiah ber- arti : (1) apa yang telah diasiapkan untuk dipakai atau disajikan, keperluan, kebu- tuhan khususnya untuk ritual dan upaca- Ra, sesaji; (2) jenis permainan yang khas (?) (Zoetmulder, 1995:981). Terdapat ka- ta ulang “saji-saji (apa yang disajikan ke- pada), asaji-saji (menyiap- kan kepada), pasaji-saji (=saji-saji), pasaji (apa yang telah diasiapkan, hadiah, sajian), serta kata jadian “asaji (menyiapkan, menyanikan), pasaji (apa yang telah diasiapkan, hadiah, saji- an), sasajyan (sasajen, beramacam sesajian), pasajyan (pasajen : tempat sesuatu disiapkan), amasaji (menyiapkan), dsb . Pada pengertian itu, di dalam konteks religi, sesajian merupa- kan sesuatu yang dipersembahkan oleh pelaku upacara keagamaan pada Illahinya. Sedangkan dalam konteks provan menunjuk pada sesuatu yang disajikan terhadap manusia lain, misalnya tamu.
Istilah “sesajen” itu diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang menunjuk pada : sajen, Ada- pun kata “sajen” mengandung arti : makanan (bunga-bungaan dsb.) yang disajikan kepada orang halus dsb.; semah (KBBI, 2002). Ada pula sebutan lain dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan yang bersinonim arti de- ngan ‘sesaj’, yaitu “banten (babanten)”, yang juga berarti : sesaji (Zoetmulder, 1995: 104). Istilah ini hingga sekarang masih dipakai di Bali, sedangkan di Jawa telah tidak atau amat jarang digunakan. Kata jadian yang lain adalah “binanten (memberikan sesaji kepada, menem- patkan sesaji pada), pabantenan (tempat untuk membuat sesaji), kabanten”, dsb. Istilah ini antara lain kedapatan pada kitab Korawasrama (78), Nirartaprakreta (68), Adigama (36.27, 54.23), Tantu Pangge- laran (124), Kidung Malat (10.4), Bhoma- kawya (73.16), dan pada kitab yang lebih tua seperti Wirataparwa (32).
Dalam religi Hindu di Bali, banten menja- di sarana upacara (upakara), yang disebut juga dengan “wali” — misal, upakara Dewa Yadnya sering disebut “puja wali”. Banten adalah suatu prasarana dalam mewujudkan bhakti kepada Tuhan. Atau dengan kata lain, banten adalah persem- bahan dan sarana bagi umat Hindu guna mendekatkan diri pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa; atau sebagai pengejowan- tahan rasa terima kasih, cinta dan bakti, karena pem- beri banten telah dilimpahi waranugeaha (ber- kah, anugerah) oleh Dewata. Banten adalah bahasa agama untuk menyebut salah satu dari sekian banyak cara manusia untuk berelasi de- ngan Sang Pencipta. Setidaknya terdapat dua buah lontar yang menjadi acuan dalam mene- laah makna bebantenan, yaitu : (a) Lontar Yajña PrakrtI, dan (b) Lontar Tegesing Sarwa Banten. Dalam lontar Tegesing Sarwa Banten dikemu- kakan bahwa “banten mapiteges pakahyunan nga; pakahyunane sane jangkep galang (ban- ten itu adalah buah pemikiran yang lengkap dan bersih)”. Sedangkan dalam lontar Yajña PrakrtI dinyatakan bahwa “Sahananing beban- ten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana (semua jenis ban& ten atau upakara adalah simbol diri, lam- bang kemahakuasaan dari Hyang Widhi dan lambang Bhuana Agung atau alam semesta)”.
Pada bahasa Jawa Baru, istilah yang disinonim artikan dengan “sajen” adalah kata “suguh” dan “caos”. Istilah “suguh” acapkali dipakai untuk menyebut kegiatan dalam bentuk memberikan sesuatu (sesajen) kepada : Dewata, Roh Nenek Moyang yang dipuja (ancestors worship), Keku- atan Alam Luar Biasa yang dipuja (supernatural worship), atau makhluk halus lain. Begitu pula kata “caos (memberi)” dipakai dalam konteks pemberian sesajian. Pada dasarnya, di dalam proses religi terdapat “exchange (pertukaran)”, yaitu manusia (pelaku upacara) membe- rikan sesajian Yang Dipuja atau Yang Diupacara, dan sebalinya Dzat Adi Kodrati berganti menerima- kan berkah kepada pemuja. Dengan demikian, ada proses “take and give (memberi dan me- nerima)” dalam upacara ritual. Bersaji melatih orang untuk tidak pelit dan tau balas budi atas pertolongan pihak lain.
B. Sajen dalam Ritus pada Sistem Religi
1. Sajen sebagai Kelengkapan Ritus
A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn, di dalam buku yang berjudul “Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions” (1952) dan sejumlah ahli seperti halnya B. Malinowski, G.P. Murdock, Koentjaraningrat dsb. menganjurkan agar ke- budayaan dikaji menurut dimensi wujud dan isi (unsur-unsur)nya. Dimensi isi kebudayaan atau diistilahi dengan “unsur-unsur kebudayaan uni- versal (culture universal)”, yang terdiri atas un- Sur : (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) sistem peralatan hidup (teknologi), (4) sistem mata pencaharian hidup (ekono- mi), (5) orga- nisasi sosial (termasuk di dalamnya khasanah politik dan hukum), (6) sistem religi, maupun (7) kesenian. Pada setiap unsur itu, menurut Koentjaraningrat — dengan mengikuti pemikiran dari J.J. Honigman — dapat dilihat dalam tiga dimensi “wujud”, yang berupa : (1) kompleks gagasan, konsep, dan pe- mikiran manusia (culture system), (2) kompleks aktivitas (social system), dan (3) benda-benda kongkrit (physi- cal culture, material culture, artifacts). Tergam- barlah bahwa sistem religi adalah salah satu isi (unsur) kebudayaan.
Sebagai suatu sistem, religi terdiri atas sejum- lah komponen, utamanya adalah : (1) sistem keyakinan, (2) ritus atau upacara keagamaan (termasuk di dalamnya prosesi upacara), (3) kelengkapan upacara ritual, baik bersifat fisis- material ataupun non fisis-material, seperti doa atau man- tra, sesajian (offering) dan korban (sacrafice), (4) tempat upacara, serta (5) pe- mimpin (imam) dan peserta (jemaat, umat) upacara. Demikianlah, salah satu sub-sistem religi adalah sesajian, seba- gai bagian integral dalam proses upacara. Ritus upacara dalam sejumlah religi menempatkan sesajian sebagai “keleng- kapan upacara”, yang bila tiada menja- dikan upacara keagamaan tersebut menjadi tak lengkap atau memiliki kekurangan, dan karena- nya tidak sempurna, bahkan batal.
2. Ragam Bentuk Sajen dalam Ritus
Sesajian yang kedapatan dalam ritus upacara keagamaan dari berbagai religi dalam sejumlah hal memiliki persamaan dan dalam hal lainnya bisa mempunyai perbedaan. Wujud sesajian yang banyak perlihatkan kesamaan berupa ma- kanan, minuman, barang konsumsi, perangkat tertentu yang penting dan lazim dipergunakan manusia untuk mencapai maksud atau tujuan, unsur tanaman, barang beraroma kuat, dsb. Mengapa makanan, minuman dan barang ter- tentu yang di dunia nyata dikonsumsi manusia dijadikan sebagai sesajian pada ritus upacara?
Hal itu berkenaan dengan “personifikasi” ter- hadap Dzat Adi Kodrati yang diupacarai, yang digambarkan secara simbolik dengan “memin- jam” unsur-unsur, sifat dan kebiasaan yang ada pada diri manu- sia. Gambaran demikian itu antara lain terlihat kuat dalam pemujaan terha- dap arwah nenek moyang, dimana kebiasaan para leluhur dalam hal makan, minum, ataupun mengkonsumsi sesuatu tere- presentasikan pada sesajian yang di-“suguh (caos)”-kan pada Nya. Dzat Adi Kodrati yang berupa Kekuat- anAlam Luar biasa, Dewa/i, makhkuk halus, dsb. acap pula dipersonifikasi, dan kepada Nya diberikan sesajian. Dengan representasi dem- ikian, maka manakala ritus dilakukan terjadi “interaksi simbolik” antara pelaku upacara de- ngan subyek yang dipuja atau diupacarai.
Dalam ritual Karo di masyarakat etnik Tengger misalnya, selama sepekan ketika arwah leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal “diundang hadir” di rumah tinggal keluarganya, kepada Nya disajikan aneka penganan, minum- an ataupun ha lain yang biasa dikonsumsi Nya kala masih hidup, seperti rokok, kelengkapan untuk menginang, busana tertentu yang terle- bih dahulu dibersihkan [yang konon pernah dipakai almarhum ketika masih hidup], dsb. Makanan maupun minuman yang telah “dise- rap sari” nya oleh Sang Arwah diganti dengan sajian baru secara periodik, sebagaimana la- zim secara periodik manusia mengkonsumsi penganan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Arwah diundang hadir diberi perlakuan laiknya “tamu kehormatan” sehingga tuan rumah pun berkewajiban untuk memberi jamuan, bahkan pantang mengosongkan rumah — paling tidak ada salah seorang anggota keluarga berada di rumahnya.
Dalam suatu kenduri (istilah Jawa Baru “gendu- ren (kenduri+an)”, penganan yang disajikan kepada Dzat Adi Kodrati atau Arwah Leluhur dan telah diserap “sari”- nya, lantas dimakan bersama oleh para peserta upacara di tempat upacara atau sebagian dibungkus dan dibawa pulang (istilah Jawa Baru”dibrekat”) untuk ang- gota keluarga di rumah. Tradisi makan bersa- ma (ada yang mengistilahI dengan “kembul bujono”) di tempat upacara itu menjadi ciri khas dalam “genduren atau slameten” di Jawa. Yang dimakan tidak selalu penganan (sesajian) yang ia bawa dari rumah ke tempat upacara, namun acap dilakukan pertukaran antara sesa- jian bawaan dianra para peserta upacara kea- gamaan. Biasa pula terjadi makanan yang di- kembulbujana-kan adalah penganan dalam ukuran sedang hingga besar, yang bisa dinik- mati oleh beberapa atau bahkan banyak orang. Tumpeng agung misalnya, adalah contoh akan sesajian yang bersifat publik, dimana khalayak mem- peroleh bagian dari sasajian itu di dalam suatu ritus upacara yang bersifat publik.
Sebaliknya, terdapat sesajian yang kecil belaka dalam wadah tertentu, yang ter- kadang bukan makanan yang dimakan oleh manusia, seperti bunga, wewangian (kemenyan, dupa, hio, mi- nyak wangi), benang lawe, dsb. Bisa juga beru- pa “jimpitan” dalam jumlah amat sedikit da- ri makanan yang dan ditempatkan pada wadah kecil berupa takir atau cukup berupa potongan lembar daun (warga Bali menyebut “tamping”). Beberapa ba- han konsumsi atau bahan buat makan- an atau minuman sepert buah pisang, jeruk atau lainnya, hasil bumi — semisal pala- wija, sayuran, kelapa, tebu,, maupun jajanan (utamanya jajan pasar), telor, gula merah, mba- ko (tembakau), atau bintang hidup jenis ung- gas, ikan, dsb. kerap dijadikan sebagai ubo rampe (unsur kelengkapan) sesajian.
3. Ragam Kegunaan dan Penggunaan Sajen
Bagi pelaku upacara, sesajian memiliki keguns- an penting, diantaranya sebagai : (a) sarana penghubung (mediator) antara pemuja dengan Yang Dipuja, (b) barang atau sesuatu yang di- persembahkan pada Dzat Adi Kodrati sebagai “imbalan (ada sebutan “upah-upahan”) terha- dap Dzat Adi Kodrati yang telah memberinya berkah, (3) memberi perbekalan kepada Arwah dalam perjalan Nya menuju ke dunia arwah — diistilahi dengan “bekal kubur (burial gift)”, bahan di dalam ritus magi sebagai semacam “suap (briber)” terhada Dzat Adi Kodrati agar berkenan menuruti atau mengabulkan keingin- an pemujaNya. Oleh karena, tanpa sesajian, relasi pemuja-Yang Dipuja tidak bisa berlang- sung, dan permohonan atau keinginan pemuja tak terkabulkan (terpenuhi).
Pada paparan diatas tergbar bahwa se- sajian memiiki ragam guna. Pada relasi Manusia-Illahi itu, sesajian menjadi “pra- syarat” untuk keberl- angsungan relasi itu. Oleh karena itu, pelaku upacara memper- siapkan sejajiannya dengan baik. Kalau- pun ada unsur sesajian tertentu yang tak mudah didapat, pelaku upacara beru- saha keras untuk mendapatkannya. Demikian pula dalam hal pembiayaan, meski tidak sedikit biaya yang dibutuhkan, demi terkabul permo- honannya pada Illahi, maka biaya yang tidak sedikit itu diikhtiarinya. Terlebih bila sesajian itu digunakan un- tuk keperluar yang amat penting, seperti untuk meniadakan dampak buruk akibat sesuatu selahan atau peristiwa, yang di- laksanakan misalnya dengan membu- at “tumpeng pras (kata “pras” berarti : po- tong, yakni untuk “memotong” dampak buruk itu)”. Demikian pula, sesajian tolak balak (pelindung, penangkal ataupun peniada) bahaya acap pula tidak murah biayanya.
C. Penghargaan terhadap Pelaku Ritus yang Menggunakan Sajen
Penggunaan sesajian dalam upacara keagama- an kedapatan kapanpun dan dimanapun. Tidak sedikit agama atau keyakinan yang mempra- syaratkan sesajian dan atau pengorbanan di dalam proses ritualnya. Kalaupun ada religi tertentu yang melarangnya, namun bukan ber- arti meniadakan atau mengurangi makna se- sajian itu bagi yang menyakini. Cara berelasi manusia-Illahi boleh berlainan, namun tidak diperkenankan penganut keyakinan yang me- larangnya memaksakan kehendaknya dengan melarang, menistakan atau menyirnakan sesa- jian yang dipersembahkan oleh para penganut keyakinan yang berbeda dengannya. Oleh kare- na bagi yang menyakini sesajian itu memiliki arti penting dan adalah sesuatu yang berharga, maka semestinya memberikan perhargaan bu- atnya, atau paling tidak mentoleransi perbeda- an dengan keyakinannya.
Indonesia sebagai negeri berperadaban, yang warga negerinya memiliki kayakinan yang ber- lainan (berbhineka), maka tak terelakkan ada- nya sejumlah agama dan keyakinan yang da- lam ritusnya menggunakan sesajian (sa- jen) sebagai kelengkapan upacara, bahkan menjadi prasyarat bagi berlangsungnya relasi religis antara manusia dengan Illahinya. Pemahaman akan keperbedaan itu dibutuhkan dalam men- jalan kehidupan keagamaan di tengah-tengah keberagamannya. Pemahaman akan hakehat keperbedaan antar budaya (termasuk antar keyakinan) semestinya tertuang baik dalam si- kap serta perbuatan untuk bertoleransi terda- patnya perbedaan pada laku ritual, yang dalam telaah ini adalah hal penggunaan sesajian da- lam proses ritualnya. Sikap dan perayaan yang sebalinya mencede- rai “prinsip kerukunan” da- lam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya di negeri yang realitas sosial-budayanya bera- gam sebagaimana ditegaskan dalam sasanti negeri “Bhineka Tunggal.Ika”.
Demikian ulasan ringkas mengenai “sesajian (sajen)” dalam konteks kebhinekaan sosio- kutural negeri Indonesia. Tulisan ini (meski terlambat) dibuat se- bagai suatu tanggapan atas sikap dan tindakan anarkhis dari seseo- rang terhadap sajen yang persembahkan pe- nganut keyakinan yang berbeda dengannya ter- kait dengan bencana vulkanik Semeru. Bagi pemberi saji, upakara ini diyakni sebagai pra- sarana untuk dapat “meredam murka alam”, menghindarkan, atau paling tidak meminimal- kan dampak bencana. Bukan lantaran sesajian itu bencana alam ter- jadi, mengingat bahwa bencana itu telah berlangsung sebelumnya.
Nuwun.
Malang-TA PP, 17-18 Januari 2022
Jatya CITRALEKHA



Leave a Reply

Your email address will not be published.