SOUND OF BOROBUDUR

SOUND OF BOROBUDUR
MEMBUNYIKAN KEMBALI ALAT MUSIK DARI ABAD KE 8 
Oleh: Bachtiar Djanan M.

Borobudur adalah mega perpustakaan yang menampilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang telah dicapai leluhur kita pada 13 abad yang lalu. Borobudur merupakan literatur dan dokumentasi perjalanan lelaku dari nenek moyang kita.

Pada candi yang dibangun di masa wangsa Syailendra ini terdapat 1.460 panil relief cerita dan 1.212 panil relief dekoratif.  Berbagai kisah yang mengandung nilai pengetahuan dan pesan moral ditinggalkan oleh para leluhur untuk generasi selanjutnya.

Pada tahun 1814, HC Cornelius menemukan lokasi candi ini di desa Bumi Segoro, atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles, seperti diceritakan dalam buku History of Java yang ditulis Raffles. Saat itu Raffles adalah gubernur jenderal Inggris yang memang punya perhatian besar pada budaya timur.

Semenjak tahun 1815, Belanda mengambil alih tanah jajahan Inggris. Usaha penggalian candi Borobudur yang masih terkubur dalam bentuk bukit yang lebat semak belukar ini akhirnya diteruskan oleh Hartman, arkeolog Belanda yang menjabat sebagai Residen Kedu dalam pemerintahan Hindia Belanda, sejak tahun 1834.

Relief yang Tersembunyi

Foto Relief Borobudur karya Adolf Schaefer (1845)

Usaha mendokumentasikan Borobudur dilakukan Hartman dengan mendatangkan fotografer bernama Adolf Schaefar pada tahun 1845. Karena hasil yang kurang memuaskan, pada tahun 1849 dilakukan pendokumentasian dengan cara menggambarnya, yang dikerjakan oleh F.C. Wilsen. Wilsen menyelesaikan 476 gambar dalam waktu 4 tahun, dan uraiannya dibuat oleh Brumund. Sejak tahun 1853, Leemans meneruskan tugas menggambar Borobudur, sampai tahun 1873.

Gambar Candi Borobudur oleh F.C. Wilsen (1849)

Pada tahun 1885 ditemukan kembali bagian kaki candi yang masih terkubur, oleh Dr. Ir. J.W. Ijzerman. Dalam kaki candi yang tersembunyi ini ditemukan rangkaian panel-panel relief, yang saat itu belum diketahui  maknanya.

Pada Kongres ke-6 Oostersch Society tahun 1929, sarjana Perancis Sylvain Levi menyimpulkan bahwa relief tersembunyi di kaki Borobudur adalah teks Buddhis: Mahakarmawibhangga, sesuai dengan naskah teks dari tahun 1411, yang ditemukan Levi di Kathmandu, Nepal, pada tahun 1922.

Terdapat naskah-naskah terkait, dua naskah Cina yang diterjemahkan oleh Gautama Dharmaprjana pada tahun 582, dan yang diterjemahkan oleh Tsai Tien Si antara tahun 980-1000. Selain itu terdapat pula naskah Tibet Kanjur yang berisi dua karya berjudul Karmawibhangga.

Pada tahun 1933, arkeolog N.J. Krom menerbitkan analisis tentang Mahakarmawibhangga pada relief dasar Candi Borobudur yang terkubur, yang  menyimpulkan keterhubungan antara gambar pada relief dengan naskah teks tertulis Mahakarmawibhangga.

Pemotretan Karmawibhangga

Kassian Cephas

Pemotretan relief-relief Karmawibhangga dilakukan oleh Kassian Cephas pada tahun 1890-1891, ia adalah fotografer Jawa yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Cephas adalah fotografer profesional pertama dari pribumi pada masa itu.

Cephas menjadi fotografer spesialis potret keluarga Kesultanan. Ia juga membuat foto-foto keraton, Taman Sari, foto budaya Jawa, foto udara, foto benteng Belanda, foto situs-situs arkeologi Hindu-Buddha, termasuk Candi Prambanan, dan relief Karmawibhangga di Candi Borobudur.

Karena subsidi pemerintah untuk pendokumentasian relief Karmawibhangga hanya diterima sepertiganya, maka dari target 300 foto panel relief, Cephas hanya bisa menyelesaikan 160 foto panel relief, dan 4 foto tambahan tentang gambaran umum situs tersebut. Foto-foto relief ini baru dipublikasikan 30 tahun kemudian.

Relief Karmawibhangga

Relief Karmawibhangga dibuka tahun 1890 untuk dipotret, kemudian ditutup lagi pada tahun 1891. Alasan penutupan rangkaian relief ini adalah karena relief ini terletak pada bagian paling bawah candi, maka beban yang disangga terlalu berat, sehingga dianggap perlu untuk diperkuat dengan penutupan relief, ditahan menggunakan susunan batu-batuan.

Namun ada analisa yang menyebutkan bahwa penutupan relief-relief ini terkait dengan  gambar-gambar yang dipahatkan pada relief ini, sebagian dianggap terlalu vulgar dalam menampilkan bentuk perilaku manusia.

Relief Karmawibhangga berisi tentang hukum sebab akibat. Bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi. Perbuatan yang baik menghasilkan kebaikan dan perbuatan jahat akan mendapat konsekuensi yang tidak baik, seperti yang tertulis dalam naskah Mahakarmawibhangga.

Selain itu, relief Karmawibhangga melukiskan gambaran kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa kuno, termasuk aktifitas kesenian, baik kesenian musik maupun tari.

Lebih dari 10 panel relief Karmawibhangga menggambarkan penggunaan 4 jenis alat musik, yaitu jenis idiophone (kentongan dan kerincingan), membraphone (gendang, kentingan), chardophone (alat musik dawai/senar petik dan gesek), dan jenis alat musik aerophone (alat musik tiup).

Alat Musik 13 Abad Lalu

Proses tuning nada di Riverside Jogja

Dalam rangkaian kegiatan Borobudur Cultural Feast yang meliputi aktifitas Sonjo Kampung dan selebrasi pentas seni budaya di 5 panggung, terdapat sesi Sound Of Borobudur, yaitu membunyikan kembali alat musik yang wujud fisiknya diambil dari relief Karmawibhangga.

Dorongan untuk perlu “membunyikan Borobudur” ini datang begitu saja, tanpa semula direncanakan, pada sela-sela aktifitas rangkaian Sonjo Kampung pertama, yang dilakukan tim Jaringan Kampung Nusantara pertengahan bulan Oktober 2016 yang lalu.

Saat itu KRMT Indro Kimpling Suseno, Trie Utami, Rully Febrian, Redy Eko Prastyo, dan saya, sedang berdiskusi dan membuka-buka literatur buku foto-foto karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga di kediaman Mas Kimpling, sang pemrakarsa Borobudur Cultural Feast.

Pada literatur tersebut kami temukan beberapa foto alat-alat musik di relief Karmawibhangga yang cukup jelas bentuknya. Dan berdiskusilah kami mengenai betapa luar biasanya leluhur kita, pada 13 abad yang lalu mereka telah memiliki berbagai instrumen alat musik yang sedemikian kaya.

Beberapa alat musik yang ada pada relief, saat ini masih bisa kita jumpai di tanah Jawa, seperti kendang dan seruling. Namun, terdapat pula beberapa bentuk alat musik dawai dan alat musik tiup, yang hari ini alat musik yang hampir sama bentuknya dengan yang ada di relief tersebut, malah hanya bisa kita temukan di Kalimantan, dimainkan oleh Suku Dayak. Cukup mengherankan.

Dari diskusi tersebut, bergulirlah dorongan untuk menghadirkan kembali alat-alat musik yang tergambar pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur dalam wujud fisik, dan membunyikannya kembali.

Ini adalah sebuah spirit untuk memotivasi agar kita kembali belajar pada Borobudur. Instrumen musik yang tergambar di relief-relief Karmawibhangga adalah salah satu representasi kekayaan seni budaya dan kemajuan peradaban nusantara yang dicapai nenek moyang kita 13 abad yang lalu.

Dawai Karmawibhangga

Instrumen Dawai Karmawibhangga karya Ali Gardy, sebelum dipasang dawai, foto oleh Ali Gardy

Ali Gardy Rukmana, seniman muda dari kota Situbondo, Jawa Timur, mendapatkan kepercayan dan amanah dari tim Jaringan Kampung Nusantara, untuk bisa mewujudkan kembali secara fisik tiga buah alat musik dawai, yang bentuknya terpahat di relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151.

Ali Gardy adalah pembuat sekaligus pemain berbagai alat musik tradisional seperti sapek dan panting, instrumen dawai Kalimantan, juga beberapa alat musik dawai lain yang dimodifikasi dari bentuk dasar instrumen tradisional. Seniman berusia 26 tahun lulusan Universitas Abdul Rahman Saleh Situbondo ini juga membuat dan memainkan seruling, serta beberapa alat musik lainnya.

Dawai-dawai dari relief Karmawibhangga dibuat oleh Ali dengan bahan kayu jati Baluran yang dibelinya dari Perhutani. Pembuat alat musik yang juga pandai memainkan saksophone dan flute ini memilih kayu jati, karena alasan bahwa pohon jati dengan kayunya yang sangat kuat ini hanya tumbuh di Pulau Jawa, sesuai dengan keberadaan lokasi berdirinya Candi Borobudur.

Ali mencoba mereka-reka ukuran alat-alat musik dawai dengan pertimbangan instrumen ini digunakan oleh pria atau wanita, serta dengan dasar proporsi tubuh dan alat musik yang tergambar di relief. Ali awalnya membuat prototype bentuk dari karton duplex (kertas karton yang keras).

Dengan bantuan cermin, Ali memegang prototype dawai dari karton persis seperti posisi pemain musik di relief, lalu ia membandingkannya dengan gambar foto relief. Dari situlah ia menemukan ukuran yang menurutnya proporsional sesuai relief, baru kemudian ia terapkan pada kayu.

Ali Gardy dan dawai Karmawibhangga (kiri), relief dawai Karmawibhangga di Borobudur (kanan)

Dawai-dawai ini dibuat oleh Ali berupa kayu utuh, tanpa sambungan. Kayu dipotong dengan mesin berdasarkan prototype dari kertas karton duplex. Kemudian rongga tabung resonansi suara di bagian belakang alat musik dibuat secara manual, dilubangi dengan dicukil menggunakan pahat kayu.

Setelah bentuk dasar rampung dibuat, barulah instrumen-instrumen ini diukir, diupayakan sesuai seperti yang tergambar pada foto relief. Ali mewarisi bakat mengukir dari ayahnya yang memang seorang pengukir furniture.

Kemudian dipasanglah bagian penutup lubang resonansi bagian belakang instrumen, pemasangan dryer (pengatur kekencangan dawai), dan pemasangan penampang dawai. Finishing akhir pengerjaan instrumen ini adalah penghalusan dengan diamplas.

Membunyikan Dawai

Latihan Sound of Borobudur di Omah Mbudur

Bentuk alat musik dawai bisa ditiru dari foto relief. Namun bagaimana dengan bunyinya? Bagaimana mereka-reka bunyi dari alat musik yang sudah 13 abad tak pernah ada wujud  barangnya?

Setelah wujud fisik alat musik dawai ini kelar dikerjakan oleh Ali dalam waktu 9 hari, langkah selanjutnya adalah menentukan bahan dawai yang digunakan, berdasarkan bunyi seperti apa yang diharapkan. Tentunya hal ini dilakukan dengan interpretasi, karena tak ada literatur pendukung.

Dawai dari relief nomor 102 adalah instrumen yang paling panjang, yaitu 123 cm, berbentuk ramping, lebar tabung resonansinya 16 cm, dengan tebal 6 cm, terdapat ukiran padma (teratai) di kepala dawai, menggunakan 2 dawai, dan fretless (tanpa fret). Dawai yang dipilih adalah dawai string, dengan nada low (rendah).

Untuk dawai dari relief nomor 125 memiliki panjang 106 cm,  juga berbentuk ramping, dengan lebar tabung resonansi 17 cm dan ketebalan 6 cm, di kepala dawai juga terdapat ukiran padma, dan menggunakan 4 dawai. Dipilihlah dawai string, dengan nada middle high (medium dan tinggi). Untuk dawai ini dipasanglah fret dari bahan rotan dengan skala untuk laras pentatonis dan diatonis.

Sedangkan dawai dari relief nomor 151 adalah yang paling pendek, yaitu 75 cm, dengan bentuk body ruang resonansi  yang gemuk, dengan lebar 25 cm dan ketebalan 6,5 cm, memiliki 5 dawai, fretless (tanpa fret). Dawai yang dipilih adalah dawai dari nilon, agar menghasilkan suara yang empuk dalam frekuensi low-middle (rendah-medium).

Tuning (penyelarasan) nada, dilakukan oleh maestro gitar nusantara, Dewa Budjana, bersama Redy Eko Prastyo, Ganzer Lana, Febry, Gregorius Argo, dan Trie Utami, pada tanggal 5-6 Desember 2016, bertempat di The Riverside Jogja, cottage dan cafe di kawasan Pakem, Sleman.

Penampilan dawai pertama kali di depan publik dalam Sonjo Kampung – foto oleh Nuryanto

Penyelarasan nada saat itu lebih pada sebuah kesepakatan untuk keperluan pentas di Borobudur Cultural Feast. Mengenai laras nada, telah disepakati bersama bahwa tidak perlu ada pembakuan laras nada. Siapapun nantinya boleh merespon, mengkreasikan, dan mengembangkannya.

Ketiga buah dawai ini ditampilkan di depan publik untuk pertama kalinya pada acara Sonjo Kampung yang bertempat di Omah Mbudur, Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, kecamatan Borobudur. Sonjo Kampung ini dihadiri tim Japung Nusantara, tim Bakti Budaya Borobudur, perwakilan dari BUMN PT Taman Wisata Candi, sesepuh dan tokoh masyarakat, Camat Borobudur, dan 10 orang Kepala Desa di wilayah Kecamatan Borobudur.

Sound of Borobudur

Cek Sound Sound of Borobudur

Acara pembukaan Borobudur Cultural Feast pada tanggal 17 Desember 2016, di lapangan Lumbini yang berada di area Candi Borobudur, menjadi momentum launching Gasona, Gasola, dan Solawa, tiga buah instrumen dawai yang bentuknya diambil dari relief Karmawibhangga.

Komposisi “Sound of Borobudur” dibawakan sebagai pembuka. Ali Gardy memainkan seruling dan Gasona – dawai dari relief nomor 151, Redy Eko Prastyo memainkan Solawa – dawai dari relief nomor 125, Rayhan Sudrajat memainkan Gasola – dawai dari relief nomor 102, John Arief memainkan kendang, Agus Wayan Joko Prihatin memainkan dawai kreasi yang juga dibuat oleh Ali Gardy, dan Trie Utami pada vokal voicing.

Komposisi ansambel dawai ini mengedepankan petikan dawai dari alat musik leluhur yang sudah ada sejak 13 abad yang lalu, sebagai simbol Borobudur telah kembali “berbunyi”. Hadirnya kesadaran untuk belajar kembali pada sumber ilmu tinggalan leluhur yang diwariskan melalui Candi Borobudur.

Foto Tim pembunyi Sound of Borobudur sebelum performance

Komposisi kedua berjudul “Karma”, diambil dari album Dewa Budjana “Nyanyian Dharma 2”, yang liriknya ditulis oleh Putu Wijaya, dan dinyanyikan dengan syahdu oleh Trie Utami diiringi petikan gitar Dewa Budjana. Maestro tari nusantara Didik Nini Thowok merespon lagu ini dengan gerak tari yang anggun penuh makna.

Karma adalah sebuah hukum sebab akibat, yang digambarkan dalam relief Karmawibhangga sebagai pelajaran lelaku dasar. Bahwa manusia menanggung segala konsekuensi dari apa yang diperbuatnya. Karma manusia adalah keniscayaan, tak akan hilang sampai di akhir hayat.

Performance Sound of Borobudur

Dalam komposisi ini Dewa Budjana memainkan gitar “Saraswati”-nya, gitar merk Parker yang diukir indah oleh I Wayan Tuges, seniman ukir dari Sukawati Bali, dengan ukiran Dewi Saraswati, simbol dewi pengetahuan, seperti halnya Candi Borobudur sebagai pustaka sumber ilmu pengetahuan.

Komposisi berikutnya dari para seniman dan pegiat Japung Nusantara ini adalah“Padma Swargantara”. Pada komposisi terakhir ini Dewa Budjana memetik dawai Gasona, Ali Gardy pada seruling, Redy Eko Prastyo memainkan Solawa, Rayhan Sudrajat memainkan Gasola, John Arief pada kendang, Agus Wayan Joko Prihatin memainkan dawai kreasi, Trie Utami pada vokal, dan Didik Nini Thowok kembali merespon komposisi dengan gerak tarinya yang indah.

We are the sound of Shambara, vibes from Nusantara. We’re the flowers of Shambara, Padma Swargantara. Metta Chakra Soumna Patta. Metta Chattra Soumna Parya. Metta Dhamma Soumna Dayya. Metta Charya Soumna Ghra.

Demikianlah lirik berbahasa Inggris dan bahasa Pali yang ditulis oleh Trie Utami, dengan komposisi musik serta aransemen digarap oleh Dewa Budjana. Dalam recording audio sequencer-nya, komposisi ini dikerjakan oleh Dewa Budjana sebagai programmer, piano dimainkan oleh Marthin Siahaan, seruling oleh Saatsyah, dan vokal diisi oleh Trie Utami.

Lirik ini membawa pesan tentang suara dari bumi shambara yang beresonansi dari Nusantara, bunga dari bumi Shambara, yaitu bunga teratai swargantara, pemberian karunia cinta kasih yang luhur tak terukur, dalam sebuah keseimbangan semesta. Shambara merupakan nama lain Borobudur, tanah tempat belajar dan pusat pengetahuan. Sedangkan swargantara adalah penyebutan untuk nusantara lama, yang memiliki makna wilayah kehidupan mandiri yang bercahaya.

Komposisi ketiga ini digarap sebagai anthem, dengan format perpaduan bunyi instrumen tradisi dengan aransemen musik modern, sebuah kolaborasi atmosfer kuno dan kekinian, serta sebuah sinergi warna timur dan barat. Ini menjadi perlambang resonansi bunyi dari Borobudur sebagai  sumber pengetahuan warisan leluhur kita, yang bisa direspon secara terbuka dengan warna kekinian, sesuai jaman, oleh siapapun, dan dari manapun berasal.

Borobudur Memanggil

Ketika panel relief Borobudur dibunyikan, dunia seolah berhenti berputar, dan memasang telinganya baik-baik. Seruan keindahan yang datang dari bumi Shambara, mengajak setiap jiwa untuk merenungkan kembali, bahwa kehidupan sejatinya adalah anugerah.

Performance Sound of Borobudur, foto oleh Panitia Borobudur Cultural Feast

Borobudur memanggil, Borobudur bangun, Shambara bercahaya, dirgantara memantulkan gema, menanti dunia untuk menjawab dan bersedia menyambut ajakan semesta. Borobudur adalah mandala kehidupan yang senantiasa berbagi pengetahuan, cahaya dan cinta, karena suaranya adalah keajaiban bunyi yang dipetik oleh jiwa-jiwa yang damai.

We are the sound of Shambara

Vibes from Nusantara

We’re the flowers of Shambara

Padma Swargantara

Demikianlah kalimat-kalimat voice over yang dibacakan Trie Utami sebagai pengantar dibawakannya komposisi Sound of Borobudur. Kini sebagian relief Borobudur telah berbunyi dan hadir di Nusantara, melalui tiga buah instrumen dawai yang diambil dari reliefnya, ibarat pusaka yang dititipkan oleh nenek moyang.

Foto bersama seluruh pengisi acara pembukaan Borobudur Cultural Feast

Sebuah cerminan lelaku leluhur, yang mewariskan ilmunya melalui relief-relief di Candi Borobudur, tanpa harus dikenal siapa pembuatnya, ataupun siapa yang menjadi model relief-reliefnya. Namun pengetahuannya jauh menembus batas, mampu terwariskan sampai 1.300 tahun kemudian.

Demikian pula niat lelaku para pembawa bunyi Sound of Borobudur. Bagaimana Sound of Borobudur bisa bergaung menembus batas ruang, beresonansi  untuk dunia, namun mereka tetap dalam laku menata hati dan pikiran, agar tak terseret ruang eksistensi dan ego.

Instrumen dawai Karmawibhangga foto oleh Indro Kimpling

Seperti halnya relief yang diam namun berhasil menjadi media mengantarkan ilmu pengetahuan, para pembawa bunyi Sound of Borobudur pun beritikad dan berupaya sekedar sebagai pengantar pesan dan menyuarakan panggilan dari Borobudur kepada Nusantara.

Borobudur memanggil. Borobudur akan membuka diri dan membagikan cahaya, cinta, pengetahuan, dan ilmunya. Tentunya bagi mereka yang sadar untuk berpikir terbuka, mengapresiasi, dan menghargai Borobudur, beserta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Gotong-royong pitutur agung guyub rukun gemah ripah loh jinawi jayaning nusantara amargo laku-lelaku.

Sebuah panggilan mulia untuk bersama-sama bersinergi menyuarakan pesan dari Borobudur, agar kembali menata lelaku, membersihkan hati, menjernihkan pikiran, dan terus berbuat, bekerja, berkarya, dan berbakti. Demi kejayaan Nusantara.




2 thoughts on “SOUND OF BOROBUDUR

Leave a Reply

Your email address will not be published.