KONTRIBUSI BAMBU DALAM MENOPANG RAGAM KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA LINTAS MASA

Selamat “Hari Bambu” 26 Nov. 2018

KONTRIBUSI BAMBU DALAM MENOPANG RAGAM KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA LINTAS MASA

Oleh : M. Dwi Cahyono

A. Bambu sebagai Bahan Bangunan Terpilih

“Pring reketek
gunung gamping gempal.
………………”.

Bahan apapun punya batas kekuatannya. Bunyi “reketek” dari batang bambu adalah pertanda batas kekuatan maksimalnya. Jangankan bambu, gunung gamping yang kokoh saja bisa gempal. Walau kekuatan bambu sebagai “bahan’ bukan tak terbatas, namun nyatanya dalam kurun waktu amat panjang bambu dijadikan tanaman yang batangnya layak untuk dipilih sebagai bahan bangunan. Disamping di daerah tropis seperti Indobesia tanaman ini mudah didapat, batangnya lurus-panjang dan cukup tahan usia, terlebih bila mampu merawat dan tepat dalam penggunaannya. Bambu petung, wulung, ori, dsb. adalah jenis bambu yang diameter batangnya bisa mencapai ukuran besar dan cukup tahan usia – – bisa sampai puluhan tahun, sehingga jenis bambu itu di Jawa dan pada masyarkat enik-enik lain di Nusantara banyak digunakan untuk bahan bangunan.

Sumber foto dari fb pak dwi

Ada teknik pengawetan tradisional bagi batang atau belah bambu agar awet, ora dipangan nonol (tidak dimakan rengat), antara lain dengan merendam sekian lama di dalam air berlumpur, disaput dengan uli bekas (uli tap-tapan) atau solar, dsb. Ketepatan waktu potong bambu, yaitu ketika musim kemarau, berpengaruh pada keawetan bambu bila dibanding memotongnya di musim penghujan. Selain itu, oleh karena bagian demi bagian dari batang bambu memiliki tingkat kekuatan yang berlainan, maka peruntukkan bagian-bagian dari batang bambu perlu diperhitungkan secara tepat. Batang bambu bagian bawah (bongkot) yang lebih kuat dan tahan usia cocok untuk tiang bangunan yang menyangga beban berat. Begitu pula, penerapan teknik konstruksi secara tepat, bisa memberi tingkat kekuatan lebih pada bangunan bambu bersangkutan.

Sebagai bahan bangunan, bambu tidak hanya digunakan untuk komponen tiang, kerangka atap (usuk, reng, glogor maupun kuda-kuda), namun kulit jenis bambu tertentu bisa dianyam menjadi komponen dinding (gedheg, sesek) ataupun plafon (langit-langit, pyan). Paling tidak untuk tali pengikat dan pasak (pantek) guna menguatkan pertalian antar batang bambu. Bahkan, pagar dan gapura pun bisa dibuat dari bambu. Ada pula bangunan, khususnya bangunan kategori tradisional, yang memanfaatkan susunan belah-belah bambu sebagai pelapis atas atap bangunan, serupa fungsinya dengan genting, sirap ijuk, dedaunan, dsb. Dalam bentuk sederhana, gawang dan daun pintu maupun cendela dan angin-angin (ventilasi) pun bisa juga dibuat dari anyaman, jeruji atau silangan belah bambu. Dengan demikian, terbuka kemungkinan seluruh atau hampir semua komponen bangunan rumah dibuat dari bahan bambu. Oleh karena itu, muncullah sebutan “rumah bambu”, baik rumah dengan kategori sedang ataupun kecil, termasuk juga kandang ternak, lumbung padi, pos jaga (angkring), jembatan, menara, dan banyak lagi yang lainnya. Tak sedikit pula perangkat hidup diibuat dari bahan bambu. Pendek kata, bambu mempunyai “beragam kegunaan (multy fungtion).”

B. Ragam Sebutan dan Jenis Bambu

Dalam bahasa Indonesia, istilah lazim untuk menyebut rumpun tanaman perdu ini adalah “bambu”, yang merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris atau Belanda “bamboo”. Kata lainnya yang bersinonim arti dengannya adalah “buluh”. Terkadang kata “buluh” dikombinasikan dengan “bambu” menjadi perkataan “buluh bambu”. Adapun dalan bahasa-bahasa lokal — termasuk bahasa etnis, ada sebutan-sebutan tersendiri yang bisa jadi berlainan. Dalam bahasa Jawa Baru misalnya, terdapat kata “pring” sebagai sebutan umum untuknya. Sebutan halus (krami) baginya adalah “deling”. Ada pula kata-kata yang lebih arkhais seperti “awi (variannya “kawi atau kawis”) dan “wenu (venu)” sebagai kata serapan dari bahasa Sansekerta, seperti misal perkataan “wenuwana (hutan bambu)” dalam Prasasti Kalasan (778 Masehi). Kata “pring, deling, kawi (awi) dan wenu” adalah sebutan untuk bambu yang telah digunakan semenjak Masa Hindu-Buddha, sehingga dapat dijadikan sebagai fakta untuk menyatakan bahwa “bambu telah menyejarah di bhumi Nusantara’.

Setelah kata-kata sebut untuk bambu itu, acap ditambahkan kata tertentu yang menunjuk pada jenis bambu, seperti pring ori (ngori), pung petung, pring wulung, pring apus, pring kuning, pring tutul, pring jabal, dsb. Banyaknya kata-kata sebut yang mengikuti kata “bambu” itu menjadi pertanda bahwa pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya kaya akan jenis bambu. Memang, sebagai negara tropis, terlebih di daerah yang curah hujannya sedang hingga tinggi, bambu memungkinkan untuk tumbuh subur. Sebenarnya, bukan hanya Tiongkok saja yang tepat menyandang predikat “Negara Bambu”, namun Nusantara pun layak memperoleh sebutan sebagai “Nagari Deling, Bhumi Awii, atau sejenisnya”.

Ada tempat tertentu yang dominan ditumbuhi jenis bambu tertentu, yang di tempat beda tanaman bambu yang dominan berjenis lain. Sebagai tanaman dominan di suatu tempat, ada desa atau dusun yang memiliki unsur nama (toponimi) yangb dipinjam dari nama jenis bambu tersebut. Misalnya, nama “Tunggulwulung (jenis bambu wulung), Petungsewu (jenis bambu petung), Lok Andeng (jenis bambu andeng), dsb.”. Terkadang, nama “priing” atau istilah yang lebih tua yaitui “awi, Kawi” yang dijadikan sebagai nama suatu desa, daerah atau kemampakkan alam, seperti “Desa Papringan, Desa Pringsewu, Gunung Pring, Gunung Kawi, Kabupaten Ngawi (Ng+awi), dsb ‘. Begitulah urgensi bambu, sehingga sebutannya digunakan untuk nama desa, daerah, bukit/gunung, hutan, dsb. Bambu adalah tanaman perdu yang terbilang akrab (familier) dengan masyarakat, sehingga namanya dipakai untuk beragam sebutan.

Kendati pada dasarnya di daerah tropis tanaman bambu bisa tumbuh di berbagai tempat, namun terdapat tempat-tempat tertentu yang tanahnya kurang cocok sebagai habitat bambu, seperti tanah berbatu, areal yang sulit air atau gersang, tepian perairan asin, tempat yang tinggi, dsb. Tanah berair, utamanya daerah aliran sungai, adalah tempat yang paling cocok bagi tanaman bambu. Keberadaan tanaman bambu yang lebat dan berderet panjang di suatu area oleh karenanya dapat dijadikan indikator akan adanya aliran air (sungai) atau genangan air di areal tersebut. Tempat tertentu yang banyak ditumbuhi bambu itu dinamai dengan “papringan”. Pada tempat yang demikian, bambu tak hanya tumbuh batangan, namun lebih dari itu hadir menggeromnbol bahkan membentuk rimbunan. Segerombol tanaman bambu dinamai “barongan atau dapuran’ bambu. Sebutan “priing sedapur” dengan demikian menunjuk pada segerombol atau himpunan batang-batang bambu. Istilah ini dijadikan kata ibarat untuk menyebut sejumlah orang yang bernaung dibawah keluarga besar (extended family, trah).

C. Pembudidayaan dan Pembudayaan Bambu
1. Budidaya Tanaman Bambu

Meskipun bambu bisa tumbuh sendiri tanpa ditanam, namun ada kalanya tanaman ini dengan sengaja ditanam di suatu tempat dengan suatu maksud. Upaya nenanam dan merawat tanaman bambu dapat diistilahi dengan “pembudidayaan bambu’. Bambu adalah tanaman “penyimpan air”, sehingga tanaman ini dipandang cocok untuk revitalisasi sumber air, dan karenanya dijadikan salah satu tanaman reboisasasi di sekitar sumber atau genangan air, sepanjang aliran sungai (DAS) dan tanah-tanah yang berair tanah minim. Untuk jenis bambu yang dipandang artistik, seperti bambu kuning, bambu tutul, bambu jabal dan rumpun bambu berbatang kecil ditanam di halaman rumah untuk memperindah, meneduhkan atau memagari areal sekitar rumah tinggal, kantor, tempat wisata, Rung Terbuka Hijau (RTH), dsb.

Penanaman bambu terbilang mudah. Secara sederhana dapat dilakukan dengan mengambil atau memisahkan tunas bambu dari induknya untuk kemudian ditanam di tempat tertentu. Bisa juga batang bambu yang bertunas dipotong beberapa ruas dan ditancapkan ke permukaan tanah atau ditanam di tanah galian. Penanaman lebih tepat dilakukan di musim penghujan, agar tidak usah menyirami seperti bila ditanam di musim kemarau. Untuk daerah tropis sebagaimana Indonesia, bambu terbilang mudah tumbuh. Bahkan, batang bambu yang dipotong dengan menyisakan beberapa ruas di sekitar bongkol, tak berapa lama tumbuh tunas-tunas baru yang lama-kelamaan bisa menjadi batang bambu. Oleh karena itu, di daerah tropis seolah bambu tak bisa habis, karena meski dipotong bakal tumbuh kembali. Sampai-sampai ada peribahasa yang menggambarkan suatu keawetan dan keserbaterusan dengan
Sak enteke pring
Sak bosoke beling.
Digunakannya perkataan “sak enteke pring” mengingat bahwa pohon bambu tak akan habis walaupun terus-menerus dipotong dan dimanfaatkan.

2. Pembudayaan Bambu sebagai Tanaman Produktif

Bambu adalah salah sebuah tanaman yang masuk dalam kategori “tanaman produktif”. Komponen-komponen bambu, baik batang, tunas (dinamai “bung”), ranting, daun ataupun binggolnya memberi kemanfaatan. Batang bambu, mulai dari batang bagian bawah, tengah hingga bagian pucuknya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik sebagai bahan bangunan ataupun bahan pembuatan ragam peralatan. Siratan kulit batang bambu yang dianyam bisa untuk dinding (gedek) dan plafon (pyan) rumah, atau paling tidak untuk tali ikat. Tuntasnya bisa dimasak untuk sayur “rebung”. Daun mudanya bisa untuk bungkus kue, seperti pada kue bakcang. Adapun daun yang kering — seperti halnya ranting — dapat dipakai sebagai bahan bakar yang mudah terbakar. Bonggolnya yang kering bisa untuk bahan bakar yang awet atau dikreasikan secara artistik dan fungsional menjadi barang kerajinan. Dengan demikian, hampir tak ada yang tak terpakai dari bambu. Atau dengan perkataan lain, bambu mengkontribusikan secara utuh penuh komponen-komponennya bagi kebaikan hidup manusia.

Diantara banyak ragam pemanfaatan batang bambu adalah sebagai bahan bangunan dan peralatan hidup. Rumah tinggal manusia dan binatang (kandang), bangunan wadah padi (lumbung), pos jaga (angkring), jembatan, menara, pagar, gapura, gazebo, warung, dsb. dapat dibuat dari bahan bambu. Aneka peralatan, baik peralatan besar ataupun kecil terbuka kemungkinan untuk dibuat dari bambu. Tidak sedikit mebeler yang dibuat dari bambu, seperti dipan, meja-kursi, almari, rak, pogo, dsb. Bentuk batang bambu yang silindris dan berlubang (bumbung) dapat dimanfaatkan sebagai wadah, baik wadah air, wadah uang (celengan bambu), wadah beras untuk ditanak (seperti pada nasi lemang). Anyaman bambu dalam bentuk tertentu dapat dijadikan wadah makanan (misal tenong bambu, besek, wakul, tompo,. dsb.), wadah barang, hingga wadaht binatang (misalnya wadah ayam jago aduan, tarangan pitik dsb.). Demikianlah,, bermacam-macami peralatan dapat dibuat dari bahan bambu. Bahkan, alat tusuk (sunduk) makan juga menggunakan batang bambu yang dibelah kecil, disirat dan dilancipi. Siratan batang bambu yang dilancipi bisa juga digunakan untuk pasak (pantek, nagel), pengunci bungkusan (biting) ataupun tusuk gigi.

Selain itu, keberadaan ruang Beringharjo pada batang bambu memungkinkan untuk dijadikan ragam instrumen musik (waditra bambu). Batang bambu yang dibelah kemudian dijajarkan dapat dijadikan sebagai alas. Pembuatan alas bisa juga dengan meremukkan batang panjang bambu untuk dijadikan semacam “tikar bambu (prupuh)”. Tirai penghalang terik sinar matahari, tampias hujan dan terpaan angin dapat juga dibuat dari jajar horisontal brlahab-belahan kecil batang bambu (kere). Alat angkut pun memungkinkan dibuat dengan memanfaatkan batang bambu, baik alat angkut darat (tandu, pikulan, bahkan sepeda) ataupun alat angkut air (rakit bambu). Bambu tak terkecuali menjadi alat bermain (dolinan), seperti egrang bambu, bambu gila, bedil,-bedilan bambu, semprotan bambu, kerangka layangan, kotirn bambu, kekean bunyi, dan banyak lagi. Pendek kata, batang bambu member kemungkinan untuk didayagunakan hingga menghasiljan beragam produk bermanfaat.

Kegunaan yang luas dari bambu tersebut menjafikannya dicari orang. Oleh karena tak semua keluarga memiliki tanaman bambu sendiri dan tak semua tempat terdapat pohon bambu, maka bambu menjadi komunitas yang diperjualbelikan. Ada orang tertentu yang berprofesi (a) sebagai pemotong bambu (tukang gethok pring), (b) pengangkut batang bambu — lewat jalan darat dengan alamat angkut cikar, gledekan, pick up ataupun truk atau melaui jalan air dengan jalan dihanyutkan dan dibuat menjadi rakit bambu, maupun (c) penjual bambu (bakul pring). Konon ada penjualan bambu yang dilakukan berkeliling dengan alat angkut gledekan khusus untuk angkut bambu, atau ada pula yang menetap di tempat tertentu (galangan bambu). Ada pula profesi lanjut dari ketiganya, yaitu perajin peralatan bambu, tukang bangunan bambu, tukang anyam bambu, dsb. Dengan adanya beragam pekerjaan yang terkait dengan bambu, bisa dibilang bahwa mambu membuka peluang kerja yang luas kepada publik, asal saja mereka mau dan mampu.

Bagi masyarakat Indonesia, bambu tak hanya digunakan untuk kepentingan praktis yang bersifat fisis. Bambu juga hadir dalam unsur budaya non-fisik. Ada beberwpu lagu yang bertemakan bambu, seperti syair lagu “pring mentul pucuk, kolo jengking ngentup bathuk”. Ada pula lagu anak-anak yang syairnya “kuambil buluh sebatang, kupotong sana panjang, ku raut dan ku timbang dengan benang, ku jadikan layang-layang, …………..”. Selain itu, bambu juga hadir dalam legenda, sebagai muasal kehidupan. Putri Junjung Buih misalnya, dikisahkan lahir dari bambu yang terbelah. Bambu juga hadir dalam perkataan bijak seperti “kasih ayah sepenggalah, kasih ibu sepanjang jalan”. Bagi Bangsa Indonesia, bambu hadir dalam konteks kejuangan, dimana “bambu runcing” digunakan sebagai alat bersahaja untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Oleh karena itu, bambu runcing dijadikan bentuk simbolik bagi tugu (monumen) perjuangan di berbagai daerah .

D. Dekadensi Penanfaatan Bambu

Pada tiga atau empat dasawarsa lalu bambu masih banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sebagai bahan, lambat lain bambu tergeser oleh bahan-bahan lain yang menjadi pesaingnya, seperti bahan natral kayu, bahan mineral logam ataupun bahan sintetik yang berupa plastik, fiber glaas, fero cement,, dsb. Seiring dengan kemerosotan itu, pada sisi lain kemampuan orang untuk mendayagunakan secara teknis bahan bambu pun berkurang. Miinat orang terhadap bahan baku ataupun barang jadi yang berbahan bambu beralih ke bahan-bahan lain. Masa keemasan bambu telah lewat, berganti memasuki “masa dekadensi”.

Sebagai negara tropis, yang kaya raya akan bambu, mustinya Indonesia tidak hanya menjadi penghasil bahan mentah yang berupa bambu, tidak hanya berhenti pada pertukangan dan kerajinan bambu, namun perlu pula mengembangkan industri berbasis bambu sebagaimana halnya industri kayu, logam dan bahan sintetis. Waktu tumbuh batang kayu yang lebih lama daripada batang bambu sebagai bahan baku untuk bangunan dan aneka peralatan mustinya menjadi pertimbangan untuk meningkatkan riset-riset pembudidayaan bambu, pelatihan kerajinan bambu dan mengembangkan industri bambu. Dengan jalan demikian, maka bambu dapat dikembalikan ke posisinya sebagai bahan dan produk alternatif yang berkontribusi penting bagi kehidupan manusia.

Upaya ke arah itu relevan dengan fenomena terakhir, yang ditandai oleh munculnya kembali minat terhadap bambu. Bukan hanya kerajinan bambu yang meningkat, namun tak sedikit bangunan unik-artistik yang dibuat dari bahan bambu. Bahkan, hutan bambu pun di sulap menjadi destinasi wisata. Misalnya, terdapat pasar wisata yang ditempatkan di hutan bambu dengan tajuk “Pasar Papringan”. Demikian pula, rakit bambu tak sekedar dijadikan alat angkut biasa, namun dikemas sebagai alat angkut (kendaraan) wisata. Restoran mahal ada pula yang ditempatkan di atas rakit bambu menurut konsep “restoran apung”. Fenomena kembali ke bambu itu dipengaruhi oleh cara pandang ekologis “back to nature”. Semoga fenomena ini bukan sekedar trend sesaat, hangat-hangat rahi ayam, namun namun berkelanjutan hingga ke masa datang.

Demikianlah selintas telaah mengenai bambu, yang sengaja ditulis bersamaan dengan tibanya “Hari Bambu Nasional” pada tanggal 26 November 2018. Semoga tulisan ini memberikab kefaedahan, syukur bila menjadi lucu untuk lebih menguatkan (revitalisasi) bambu. Nuwun.

Sangkaling, 26 November 2018
Griya Ajar CITRALEKHA




Leave a Reply

Your email address will not be published.