MENCANDRA PANCASILA,
MENEROKA MASA DEPAN BANGSA
Oleh: Djoko Saryono
Rabu, 1 Juni 2016 kita memperingati hari lahir Pancasila. Dalam peringatan ini selayaknya kita melakukan permenungan sejenak ihwal Pancasila. Untuk melakukan permenungan, marilah kita tempatkan Pancasila sebagai teks konsensus bangsa Indonesia; sebuah common platform atau kalimatun sawa’ kebangsaan Indonesia yang menjadi titik-temu atau medan magnetis atau episentrum pelbagai cita-cita, pengalaman, pemikiran, dan praktik diskursif manusia yang dinamai bangsa Indonesia. Dalam sepanjang keberadaannya, semenjak diperbincangkan dalam sidang BPUPKI sampai dengan sekarang dalam abad kesalingtergantungan dan kesalinghubungan monidal (interdependensi glo[bal/kal] dan interkoneksi glo[bal/kal]), Pancasila telah dimaknai, ditafsirkan, dikontekstualisasi, dan diartikulasikan oleh berbagai pihak, baik perseorangan maupun berkelompok; kadang-kadang dilakukan secara terbuka-dinamis, kadang-kadang dilakukan secara tertutup-statis. Pada saat melakukan usaha tersebut, berbagai pihak baik perseorangan maupun kelompok senantiasa menjadikan Pancasila sebagai medan magnetis atau episentrum segenap pewacanaan atau tekstualisasi Pancasila. Sebagai contoh, pewacanaan atau tekstualisasi bentuk negara ideal Indonesia, sistem politik Indonesia, sistem ekonomi terutama moralitas ekonomi Indonesia, dan tata negara Indonesia selalu menempatkan Pancasila sebagai medan magnetis atau episentrum. Buku Negara Paripurna karya Yudi Latif (Penerbit Gramedia, 2012) dan Cita-cita Negara Pancasila karya Sulastomo (Penerbit Kompas, 2015), misalnya, menempatkan Pancasila sebagai entitas negara paling ideal bagi Indonesia. Buku Mubyarto tentang moralitas ekonomi Pancasila yang diterbitkan oleh BPE Yogyakarta tahun 1980-an dan LP3ES tahun 1980-an/1990-an awal, sebagai contoh lain, dengan jelas-tegas meletakkan Pancasila sebagai entitas atau “roh progresif” (meminjam istilah dalam buku ini) sistem ekonomi nasional Indonesia.
Sebuah buku menarik bertajuk Ideologi Pancasila: Roh Progresif Nasionalisme Indonesia (terbitan Instrans Publishing, 2014) karya Prof. Dr. Hariyono juga demikian. Dengan gamblang-terang, buku Ideologi Pancasila menjadikan teks Pancasila sebagai subjek, medan magnetis atau episentrum perbincangan atau pewacanaan kaum muda, nasionalisme, dan masa depan bangsa Indonesia. Pendek kata, buku ini secara detail mencoba mengusut dan mencandra pertalian Pancasila, nasionalisme, kaum muda, dan masa depan bangsa Indonesia di mana Pancasila diletakkan sebagai sumbu atau pusat segenap arus perbincangan. Bahkan bisa dikatakan bahwa hulu perbincangan buku ini adalah Pancasila, dan muara perbincangan adalah masa depan bangsa Indonesia; adapun nasionalisme dan kaum muda sebagai ‘penjangkarnya’. Dalam hubungan ini nasionalisme ibarat menjadi ‘sungai’ yang dialiri oleh konstruksi makna Pancasila pada satu sisi dan pada sisi lain kaum muda menjadi ‘penemu, penjaga, dan pengembang’ Pancasila sekaligus nasionalisme. Di sinilah kita melihat bahwa buku ini mencoba mencandra keberadaan, keadaan, dan peranan Pancasila di bumi Indonesia untuk melihat dan menerawang perjalanan nasionalisme dan masa depan bangsa Indonesia dengan menempatkan kaum muda sebagai subjek arus perbincangan.
Dengan menempatkan Pancasila sebagai hulu atau sumbu tekstualisasi atau pewacanaan kondisi nasionalisme, kaum muda, dan masa depan bangsa Indonesia, kita terasa ditawari sebuah tafsir Pancasila yang kontekstual-relasional-holistis, bukan tafsir yang analitis-komponensial dan atau tafsir yang tematis-statis, yang pada umumnya kita jumpai dalam diskursus Pancasila. Dengan kata lain, ketika membaca buku Ideologi Pancasila kita sedang menikmati tafsir kontekstual-holistis (tentang) Pancasila. Di sinilah kita dapat melihat Pancasila diletakkan di ruang sosial-politis, sosial-ekonomis, dan sosial-budaya skala global (atau glokal) yang dinamis dan dialektis, bukan di ruang sosial yang vakum, beku, ortodoks, dan doktriner. Lebih jauh, dengan model tafsir kontekstual-holistis-relasional Pancasila tersebut, pada saat membaca buku tersebut secara keseluruhan, kita disuguhi sebuah jejaring teks Pancasila: dalam hal ini teks Pancasila berjejaring dengan teks kaum muda, nasionalisme, dan masa depan bangsa Indonesia. Sebagai sebuah jejaring teks, masing-masing teks (baca: empat teks) saling berdinamika, berdialektika, bahkan berkontestasi dengan sumbu atau medan magnetis Pancasila. Di sinilah kita kemudian berhadapan dengan tenunan tali-temali teks Pancasila yang terbuka dan multi-arah sehingga bisa dikatakan bahwa buku ini terhindar dari pandangan deterministis dan monopolistis tentang tafsir Pancasila; buku ini menyodorkan pandangan inklusif, partisipatif, dan terbuka tentang tafsir Pancasila. Secara tersorot, sebagaimana sudah diwanti-wanti oleh Paul Ricoeur dan Jaques Derrida tentang watak sebuah teks, buku ini hendak menyampaikan peringatan bahwa jangan sampai ada fosilisasi dan finalitas tafsir teks Pancasila mengingat teks-teks yang menyertai dan mengitari selalu berdinamika, berdialektika, dan bahkan berkontestasi.
Dalam perspektif jejaring teks dengan modus tafsir kontekstual-relasional-kontekstual sebagaimana disinggung di atas, buku ini mencandra teks Pancasila beserta tali-temalinya dengan teks nasionalisme, kaum muda, dan masa depan bangsa Indonesia dengan “membunyikan peluit peringatan” akan adanya tantangan bangsa yang kompleks dan berat – baik bersumber internal maupun eksternal bangsa – yang harus kita hadapi pada satu sisi dan pada sisi lain adanya realitas kehidupan bermasyarakat-berbangsa-bernegera masa kini yang genting, problematis, bahkan “penuh silang sengkarut”. Tantangan internal yang tampak “penulis gaungkan atau galaukan” dalam buku ini adalah (a) rentannya, rapuhnya, bahkan hilangnya ketahanan dan kedaulautan ekonomi, politik, dan kebudayaan akibat kecenderungan dan ketidakberdayaan berbagai rezim penguasa yang mengurus negara-pemerintahan; (b) memudarnya kehesi, soliditas, dan solidaritas kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia; sedangkan tantangan eksternal paling nyata dan besar yang “penulis galaukan” adalah (c) semakin merangsek-merasuknya rezim ekonomi kapitalisme liberal atau neoliberal yang rakus dan eksesif dengan mengobarkan panji-panji pasar bebas seraya menendang peran negara dalam urusan ekonomi; (d) kesalinghubungan dan kesalingtergantungan mondial yang memudarkan batas-batas teritorial dan kedaulatan bangsa dan negara. Sementara itu, menurut penulis, realitas kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan masa kini cenderung didominasi dan bahkan disetir oleh “hedonisme, komersialisme, konsumtifisme, primordialisme”, yang celakanya dibiarkan oleh negara. Negara pada masa sekarang kerap lindap dari urusan kemasyarakatan dan kebangsaan: negara narsis dengan urusannya sendiri. Dalam menghadapi hal inilah penulis tampak benar berharap kepada kaum muda (baca: penulis memakai terma generasi muda!). Mengapa? Secara tersirat penulis melihat bahwa semenjak masa prakolonial, kolonial sampai dengan masa merdeka, keberadaan dan peran kaum muda begitu signifikan dan luar biasa dalam pembentukan, pengawalan, dan pengembangan teks Pancasila dan nasionalisme Indonesia. Oleh penulis, bahkan masa depan bangsa Indonesia tetap diletakkan pada diri kaum muda. Keselamatan dan keberadaan masa depan bangsa Indonesia bertumpu pada sejauh mana kaum muda mampu melakukan signifikansi, internalisasi, dan habituasi teks Pancasila dan nasionalisme Indonesia dalam diri-pribadi kaum muda dan kehidupan bersama di Indonesia.
Dalam Bab II dan Bab III buku Ideologi Pancasila penulis mencandra atau mendedah lebih jauh pasang-surut pemaknaan, penafsiran, dan pelaksanaan teks nasionalisme dan teks Pancasila. Dalam candraan atau dedahan penulis yang dipaparkan dalam dua bab ini tampaknya demikian banyak baksil yang menyerang atau menggerogoti teks Pancasila dan nasionalisme Indonesia. Dengan kata lain, di samping mengajak pembaca melakukan nostalgia dan glorifikasi (baca: tamasya ingatan dan perayaan puja-puji), penulis justru lebih banyak menyodorkan baksil-baksil yang membuat rapuh atau pudar teks Pancasila dan nasionalisme Indonesia. Masa depan bangsa Indonesia terpulang pada kemampuan kita “membersihkan atau mematikan” baksil-baksil Pancasila dan nasionalisme Indonesia. Dalam rangka membersihkan baksil-baksil Pancasila tersebut, penulis benar-benar berharap pada kaum muda sebagaimana dituangkan dalam Bab IV buku Ideologi Pancasila. Oleh karena itu, penulis mengimbau agar kaum muda menjadi kaum pelopor seperti pendahulu-pendahulu mereka, sanggup melakukan perubahan pola pikir (mindset) sesuai dengan kebutuhan zaman, mengedepankan keutamaan hidup tanpa melalaikan kesejahteraan kehidupan, dan mampu membangun kaum muda sebagai manusia pembelajar. Lebih lanjut, sebagaimana dituangkan dalam Bab V Penutup buku Ideologi Pancasila, penulis mengajak kaum muda beserta seluruh eksponen bangsa kembali kepada jati diri bangsa karena mereka (baca: kaum muda) ahli waris cita-cita besar bangsa yang sudah dicanangkan oleh para guru bangsa dalam teks Pancasila dan nasionalisme Indonesia serta teks-teks turunannya. Sanggupkah kita? Hal ini merupakan pekerjaan besar, berat, dan kompleks yang memerlukan waktu, pikiran, dan tenaga luar biasa. Sekalipun demikian, senyampang kita memperingati Hari Lahir Pancasila, marilah kita gerakkan tekad untuk tetap setia kepada Pancasila, terus membatinkan Pancasila di dalam sanubari kita, dan mewujudkan Pancasila dalam lapangan kehidupan dan kebudayaan kita.