[fatsal 11] – KARANGKATES
Sudah dua kali ini, fatsal 9 dan fatsal 11 ini, sonjo kampoeng dikemas dengan formasi yang sedikit berbeda. Diawali dengan Jelajah Jejak Kampoeng (yang dimotori oleh komunitas Jelajah Jejak Malang dan Barisan mBah Shinto), yang diisi juga dengan penelaahan situs dan karya tradisi yang ada di dalam dan di sekitar Kampoeng. Harapannya, dengan kehadiran kelompok apresiasi kampoeng langsung pada hal-hal istimewa yang dimiliki oleh sebuah kampoeng, masyarakat setempat tertolong untuk juga dapat melihat pentingnya dan bermaknanya harta budaya yang mereka miliki.
Beberapa hal yang sejauh ini dapat dijadikan pelajaran untuk melakukan pemetaan tradisi-budaya kampoeng adalah “peninggalan”; entah yang berupa cerita dan dongeng, yang berupa barang dan kondisi alam tertentu, berupa tumbuhan dan makhluk hidup lainnya, dan yang terutama adalah berupa “ada”nya orang yang diyakini menjadi bagian penting dari adanya kampung tersebut. Model-model kisah tentang asal-muasal kampung dapat ditemukan dari beragam cerita yang muncul dan apalagi dibanding-ajarkan dengan peninggalan-peninggalan fisik yang ada.
Kampoeng selalu merupakan lahan yang paling sempurna untuk menggali segala wujud ekspresi seni, tradisi, dan ritual budaya yang hingga sekarang ini masih kita miliki.
Dengan mendengar penuturan dari warga kampoeng, sekalipun berupa penggalan informasi semisal “memang ada tanah gundukan yang memanjang lurus, yang pernah seorang kawan membuat aliran pematang menjumpai bata-bata kuno yang tersusun rapi di galiannya”, dan lantas mengkaitkannya dengan literatur yang ada, kondisi geografis purba dan sebagainya, maka informasi pendek itu dapat menjadi luar biasa penting bagi penentuan sejarah sebuah komunitas dan bisa jadi sebuah bangsa.

Palang Merah Remaja, di Desa lereng Gunung Kawi ini salah satu penanda sisa betapa nilai kekesatriaan bagi Bangsa ini dihayati.
Dengan melihat langsung apa yang ada dalam sebuah kampoeng bahkan kita bisa merasakan bagaimana dalam sejarah bangsa ini ada masa-masa tertentu dimana masyarakat tidak hanya sengaja dijauhkan, namun juga dilarang dengan ancaman hukuman, bahkan dilecehkan sebagai tradisional-ndeso-klenik-mistik-sesat-animis-dinamis … bla.bla.bla … yang celaka tragisnya masih banyak dipercaya oleh banyak anggota masyarakat. Masyarakat kampoeng, merekalah mampu melihat dan merasa bahwa tradisi dan budayanya ada dalam darahnya, namun tak mampu lagi berpikir karena terlanjur diracuni panjang oleh proyek kolonialisme yang memang menggunakan senjata penghancuran budaya sebagai cara melemahkan masyarakat, bahkan semakin dibiasakan oleh jaman-jaman sesudahnya. Roh tradisi dan budaya itu ada di kampung-kampung, menunggu para warganya kembali mencintainya. Menunggu kita semua untuk kembali hidup dalam kejayaannya.
Bahkan ketika ditelusuri singai-sungai kecilnya, sumber-sumber air di lereng-lerengnya, pohon, kayu, batu, bata, dan segala perserakan yang masih tertinggal di kampoeng-kampoeng, itulah saksi-saksi peradaban. Bahwa pusat budaya ada disana, bahwa pemangku budaya sesungguhnya berada disana. Bersyukur jika bisa kita jumpai sebuah barang besar lengkap dengan penanda jaman, prasasti, keterangan histori dan dukungan kisah dari para leluhur. Kalaupun tidak, dengan melakukan Jelajah Jejak Kampoeng, kita semua bersama dengan seluruh warga masyarakat akan kembali disadarkan bahwa tradisi, budaya, dan apa yang disebut sebagai bangsa itu adalah semuanya yang telah ada dan tersedia disana.
Kampung/desa/dusun adalah pusat budaya dimana peradaban dimulai dan dikembangkan sarat dengan kearifan terhadap kehidupan, bahkan kehidupan dengan alam semesta dan segala bentuk penghuninya.
Tersedia mekanisme berjalannya roda peradaban disana, masyarakat sebuah kampung tidak sendirian dikungkung oleh ‘dunia’nya sendiri. Kampoeng-kampoeng lain disekitarnya adalah saksinya, adalah sahabatnya, adalah saudaranya yang selalu siap berbagi dan saling mengapresiasi. Bersama-sama mereka menghadapi tantangan yang sama, menghadapi ketakutan dan harapan yang sama, bersama-sama mereka bahkan bisa membangun impian yang sama untuk hidup harmoni dalam keselarasan alami. Karena satu sungai yang sama bisa jadi adalah sumber hidup bagi banyak kampung. Satu jalan yang sama adalah penghubungnya. Dan satu penanda adalah penjaga bagi semua agar marabahaya tidak sampai memasuki eilayah kehidupan damai mereka.
Selanjutnya, ini bagian indahnya, penanda dalam sebuah kampung diekspresikan secara utuh dalam keseluruhan sistim kehidupan masyarakatnya. Terciptanya adat, seni tradisi, ritual-doa, dan penghormatan-penghormatan pada segala bentuk saluran terhadap yang illahi dihormati bersama, bahkan dihidupi menjadi cara unik mempercantik kehidupan di dunia ini. Maka simbol-simbol yang dimiliki adalah kekuatan kampung, untuk terus dijagai agar para penerus peradaban selalu ingat dan waspada bahwa hidup di bumi ini begitu istimewanya.
Kesadaran budaya kampung yang telah dihayati bersama oleh masyarakat desa Karangkates, kecamatan Sumberpucung, kabupaten Malang dan bahkan telah mulai menyemangati desa-desa disekitarnya dalam wilayah itu merupakan khabar baik terbangun kokohnya masyarakat budaya yang telah sejak nenek moyang kita dinamai Nusantara. Kadang memang kegelapan dan ketakutan datang, tapi itu justru dijadikan sarana berefleksi bahwa manusia memiliki batas-batasnya dalam hidup yang perlu terus menjadi pemicu untuk hidup semakin manusiawi.
Patung Ganesha perkasa yang terpelihara di ujung desa akan terus menerus mendampingi dan menyaksikan bagaimana masyarakat kampung disitu dapat saling menjagai agar tidak ada satupun yang menjadi korban atau dikorbankan demi apapun juga. Untuk itulah kesadaran pada lingkungan sangat dijunjung tinggi disana, bahkan seolah sudah menjadi cara hidup alamiahnya.
Tempat-tempat yang setiap saat menjadi sumber kehidupan masyarakat tidak dikotori, dirusak dan diganggu, sebaliknya justru dihormati dengan takjub agar siapapun berhati-hati dan penuh syukur memanfaatkannya. Begitulah nampak dalam pertemuan petang yang dengan penuh antusias dilakukan di Balai Desa. Tua muda, perempuan laki-laki, pejabat desa masyarakat umum, semua setara duduk bersama dalam tingkat yang sama. Makan dan minum bersama dengan menu yang sama. Tidak ada yang diistimewakan. karena semua orang adalah istimewa, semua orang berharga, patut didengarkan dan layak untuk diapresiasi.
Sambil terus membangun kesadaran yang sama, acara terasa penuh dengan semangat luar biasa. Kalau saja tiap-tiap kampung bisa saling Sonjo dengan semangat saling mengapresiasi dan menghargai, kalau saja kekayaan seni, tradisi, ritual-budaya tiap-tiap kampung adalah bentuk ekspresi hidup lestari bersama dalam satu bumi, kalau saja tiap-tiap orang kembali berani membangun jati dirinya berdasarkan budaya yang telah kokoh mendarah daging ada dalam tubuhnya, maka kejayaan Nusantara adalah kepastian yang tidak terlalu muluk.
Dan sungguh, inilah pesta pertama tanpa plastik yang pernah aku alami. Kampung memang memiliki cara sendiri untuk hidup bahagia, namun lestari dunia akhirat.
Refleksi peserta SONJO KAMPOENG
Kristanto Budiprabowo